Bagian 116

12.4K 2.9K 2.2K
                                    

KELUARGA Papa terdiri dari tiga bersaudara, laki-laki semua. Abinaya, Adiningrat, dan Adyatama. Om Abinaya sebagai anak tertua memiliki dua orang anak. Pertama Daffin, kedua adik perempuannya yang setahun lebih muda di bawah gue. Anak keduanya itu sudah menikah dan di boyong suaminya tinggal di Johor, Malaysia.

Anaknya Om Adi dua orang juga, perempuan semua. Kalian sudah mengenalnya. Indah Novelia Adiningrat, dan Ilyana Thalia Adiningrat. Ilyana sudah menikah tahun lalu. Tentu bukan dengan pria yang dia temukan sembarangan dari aplikasi kencan.

Terakhir Papa sebagai anak bungsu yang memiliki dua anak juga. Gue dan Sheina. Meski mungkin gue anak yang dulunya tidak diharapkan di keluarga ini, namun sejak pertama kali gue dikenalkan pada keluarga besar, mereka sangat welcome dan nggak memperlakukan gue dengan cara yang berbeda.

Di keluarga besar, yang belum menikah hanya tinggal bertiga, Daffin, gue, dan Sheina. Sheina sering dikecualikan dari obrolan keluarga sebab dia masih muda dan masih kuliah. Gue dan Daffin yang sering habis diceramahi soal pernikahan setiap kali ada acara keluarga.

Malam itu, setelah kepulangan gue dari rumah Shafira. Gue nggak bisa langsung istirahat karena harus menjawab pertanyaan Om Abi, Om Adi, Tante Utami  dan Papa. Ngomong-ngomong Om Abi sama seperti Papa, istrinya udah nggak ada dan nggak berniat menikah lagi. Jadi Tante gue tinggal satu, Tante Utami aja. Sosok perempuan yang juga gue anggap sebagai sosok ibu.

"Kita mesti cek tiket pesawat, buat penerbangan ke Yogya besok, biar bisa berangkat satu pesawat bareng." Om Abi mendadak sibuk dengan ponselnya.

"Nggak usah, Om... calonnya orang Bandung, bukan orang Yogya."

"Loh, orang Bandung ternyata. Bagus itu. Orang Bandung, Dre. Kita bisa berangkat semua ke sana."

"Aduh... aduh... bentar. Tante telepon tempat langganan kue dulu, kira-kira buat besok pagi bisa nggak, ya? Atau beli di Kartika Sari, kita lewat Cimahi, kan?" Tante Utami heboh mengurus bingkisan yang ingin dibawa besok. Menelepon kenalan-kenalannya yang punya koneksi ke tempat kue-kue enak.

"Orang Bandung siapa, Tha? Teman kamu?" Papa baru menanyakan orangnya setelah menciptakan segala kehebohan ini. Dia membuat pengumuman tanpa tahu siapa calon menantunya.

"Shafira..." Seketika semua hening saat gue mengatakan nama itu, seolah Om dan Tante gue sudah mengetahui nama itu.

"Shafira sekretaris kamu dulu? Yang cantik itu? Yang diceritain Indah sama Ilyana itu bukan, Di?" Mendengar respons itu, sekarang gue tahu segala kisah hidup gue nyampe ke keluarga besar berkat Mbak Indah dan Ilyana.

"Tapi kalau Atha nggak naksir Shafira itu, anakmu Daffin nggak akan nikah-nikah karena Nalea masih sama Atha, Mas," sambung Tante Utami. Daffin juga sepertinya menyampaikan segala hal yang terjadi. Benar-benar nggak ada yang bisa dipercaya di keluarga ini.

"Memangnya Pak Adam Hamid rela anaknya dinikahi kamu, Tha?" Papa mendadak pesimis sekarang.

"Memangnya anakmu ini nggak cukup tampan dan layak untuk dapat jodoh kayak Shafira, Pa?"

"Bukannya gitu. Maksud Papamu keluarganya Shafira itu kan agamis banget. Dari yang kami dengar, dia anak perempuan satu-satunya. Kamu harus banyak latihan, banyak belajar, entar di tes khutbah jumat sama bapaknya berabe kamu. Kamu ditolak mentah-mentah bagaimana?" Gue tertawa kecil mendengar kekhawatiran Tante Utami.

"Pokoknya buat besok, jangan semuanya langsung ikut. Papa sama Om Abi aja selaku anak tertua. Nanti kalau udah pasti diterima dan lanjut acara khitbah, baru semuanya ikut."

"Tapi jangan Om yang disuruh bicara ya, Tha. Suka gugup Om kalau harus mewakilkan pembicaraan penting begitu." Gue yang akan melamar, malah orang-orang usia senja ini yang heboh menyambutnya.

ATHA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang