Bagian 18

13.7K 2.6K 305
                                    

GUE menghela nafas panjang sambil menuangkan air ke dalam gelas yang udah disediakan pihak hotel. Sering kali gue menyerap emosi orang lain, yang bikin gue bawaanya kebawa emosi juga. Dua puluh menit lebih gue mendengarkan Ilyana menceritakan relationship-nya yang gagal. Pria yang sudah ia pacari selama kurang lebih dua tahun, tiba-tiba memutuskannya dan malah memberinya undangan pernikahan. 

"Ya lo sih! Udah tahu ketemu di Tinder, pake percaya segala kalau dia lajang!" Gue malah mengomel pada Ilyana. Kabarnya, mempelai wanita adalah perempuan yang sudah hampir dipacari selama delapan tahun. Jadi dalam dua tahun terakhir ini, dia memacari dua perempuan sekaligus. Gue nggak sepenuhnya menyalahkan cowoknya yang berengsek. Ilyana juga salah karena dia gampang percaya sama orang.

"Dia baik, Tha. Ya Tuhan! Serius. Gue udah pernah cek handphonenya dan nggak ada yang aneh di sana. Dia bahkan nyusul gue ke Ubud waktu gue ada kerjaan di sana. Dia sampe ngambil cuti dan nginep di Bali lima  hari supaya bisa ketemu gue. Kemarin aja dia masih jemput gue pulang kantor. It doesn't make sense that he suddenly gave me a wedding invitation."

"Orang tajir handphone-nya nggak mungkin cuma satu kali, Na. Lagian, lo masih aja ke makan omongan 'jalanin dulu aja' itu tandanya selama dua tahun ini dia cuma mau ngajak lo jalan doang. Nggak ada komitmen sama sekali."

"Udah saatnya lo cari cowok yang serius dikit kayak kakak lo. Yang bertanggung jawab, yang care  dan beneran sayang sama lo. Jangan kebanyakan nyari cowok dari dating app mulu. Nggak semua yang main dating app tuh berstatus lajang. Orang yang udah sampai ke tahap tunangan dan komitmen buat nikah aja, masih banyak yang 'main' sama cewek lain."

Ilyana malah menyodorkan cermin kecil yang sedang dia pakai ke gue. "Ngaca nih! Itu sih lo banget. Tunangan sibuk cari ilmu di luar negeri, pasangannya malah sibuk cari yang lain di sini. Lo tuh nggak kalah ber*ngseknya sama paca— ralat, mantan gue."

Gue hanya berdecak tanpa berkomentar lebih. Cewek kalo lagi tersakiti sering kali memukul rata semua pria seisi bumi. Nggak lama dari itu, bell ditekan seseorang. Ilyana semangat untuk membukakan pintu kerena mengira itu pesanan makannya. Namun ketika mendengar suara seseorang mengucapkan salam, gue langsung tahu kalau itu Shafira.

Sebenarnya bukan karena permintaan Pak Jo, gue meminta rapat dengan Ilyana dimajukan sekarang dan memilih tempat di luar kantor. Kalau momennya nggak tepat (Ilyana putus) dan gue nggak punya dosa ke Shafira, gue akan memilih opsi untuk rapat seacara online aja.

Namun bakalan aneh kalau tiba-tiba gue memberikan gift ke Shafira padahal nggak ada acara apa-apa. Kalau ada meeting apalagi sampai lembur di tempat yang bisa memesan take away sekalian, dia akan menganggap pemberian gue sebagai bonus karena udah mau kerja lembur.

Ilyana mengajak Shafira berkenalan, dia sempat mengulurkan tangan dan Shafira membalas uluran tangannya tanpa ragu. Nggak seperti ke Dipta waktu itu. Kemudian Ilyana mempersilakan Shafira untuk duduk dikursi mana pun yang masih kosong. Sambil membuka dokumen di layar laptop, gue sempat melirik ke arah Shafira sebentar. Dia terlihat agak mengigil dan bagian belakang hijabnya agak basah.

"Jangan kaget ya, Shaf. Kalau kerja bareng Athaya, dia memang suka aneh-aneh. Ngajakin hangout ke luar kota atau meeting di kamar hotel. Itu cuma alasan supaya dia bisa pake anggaran meeting di luar kantor buat kepentingan pribadi." Gue mendelik tajam saat Ilyana mengatakan itu. Dia disakiti satu lelaki, kenapa jadi berakhir dendam kesemuanya begini.

"Sorry, what was that again?" tanya gue sambil bangkit menuju nakas yang terletak di samping tempat tidur untuk mencari remot AC. "Gue nginep di sini bayar sendiri ya." Gue nggak terima dengan tuduhannya. Saat itu gue manaikan suhu AC menjadi 27C karena Shafira duduk tepat di mana arah angin AC akan sangat terasa.

ATHA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang