Bagian 69

11.1K 2.5K 1.2K
                                    

OKSIGEN bergantian masuk ke paru-paru gue secara cepat. Gue mengatur ritme nafas sebelum menjawab pertanyaan Papa. Gue nggak tahu kapan dia bangun, tapi harusnya dia juga nggak berdiri di pojok ruangan seperti itu dan tiba-tiba menyalakan lampu yang jelas-jelas akan membuat gue kaget.

"Aku mau berjamaah subuh," jawab gue singkat.

"Kamu mau berjamaah subuh?" tanyanya seperti tidak percaya anaknya ini rajin ke masjid akhir-akhir ini.

"Terus kenapa harus mengendap-endap segala? Jalannya udah kayak orang mau kabur." Gue sengaja berjalan mengendap-endap dan nggak menyalakan lampu supaya nggak menimbulkan suara karena gue pikir Papa masih tidur.

"Papa sendiri ngapain berdiri di situ? Bikin orang kaget aja." Gue balik bertanya karena rasanya lebih singkat dari gue.

"Mau salat subuh juga lah, nggak lihat ini." Dia membenarkan posisi peci hitam ala presiden yang dia pakai. Sheina benar, kadang Papa terlalu mirip Pak Habibie. Bahkan menggunakan peci hitam saja membuatnya terlihat memiliki wibawa seperti presiden.

"Sepagi ini? Kan belum azan."

"Cinta itu datang sebelum dipanggil," katanya terasa filosofis. Papa mendahului gue berjalan menuju pintu keluar.

Tentu saja gue nggak berangkat ke masjid berjalan barengan sama Papa. Dia berjalan lebih dulu sementara gue berjalan lebih lambat di belakangnya. Sampai ke masjid pun kita nggak membicarakan apapun lagi. Azan subuh berkumandang, gue memilih berdiri di shaf belakang untuk menunaikan salat dua rakaat sebelum subuh terlebih dahulu.

Namun pada akhirnya ketika gue maju untuk salat berjamaah, gue tetap berdiri di samping Papa karena shafnya masih kosong. Subuh itu kami kebagian shaf paling depan karena memang hanya sebaris. Itu pun isinya kebanyakan adalah bapak-bapak berusia senja. Usai berjamaah subuh, ustaznya menyampaikan tausiyah singkat sebentar.

Rumah di kawasan Menteng ini memang termasuk ke dalam cluster lama yang tentu saja tingkat sosialisasi antar tetangganya rendah. Namun siapa yang tidak mengenali Andreas Yudistira Adytama. Tebak apa yang terjadi setelah berjamaah subuh itu? Papa dihampiri beberapa orang yang gue tebak adalah orang yang memiliki rumah di daerah tersebut.

Rata-rata bapak-bapak yang menghampiri itu seusia dengannya. Papa mengenalkan gue ke semua orang yang dikenalnya di tempat itu bahkan gue dikenalkan pada imam masjidnya dengan penuh kebanggaan. "Ini anak sulung saya, Pak Ustaz. Kebetulan dia lagi pulang, makanya baru bisa ikut berjamaah."

"Masyaallah, kayaknya ini dulunya mirip Pak Andreas pas masih muda nih. Pantes aja tumben subuh ini Pak Andreas nggak dateng sendiri," mendengar itu gue asumsikan kalau Papa memang rajin berjamaah di tempat ini. Gue hanya memasang senyum dari tadi. Meskipun gue memang tidak akur dengan Papa, tapi gue cukup tahu diri. Di depan umum kayak gini, gue perlu berpura-pura menjadi anak yang baik untuk menghargainya.

"Saya tuh tadi dari semenjak datang itu terus kepikiran. Ini anak muda dari mana? Kok rasanya saya belum pernah lihat di sini. Pas diamati lebih lama loh kok mirip Pak Andreas. Ternyata benar anak sulungnya Pak Andreas. Saya nggak pernah lihat sebelumnya."

"Yah... namanya anak muda jaman sekarang, Pak. Kalau udah mampu tinggal sendiri, suka nggak kepikiran buat pulang. Ini dia tumben aja lagi ingat rumah karena adiknya baru pulang dari rumah sakit." Lama-lama kebanyakan senyum, rahang gue pegal juga.

Gue menjawab pertanyaan mereka sesekali. Intinya subuh itu Papa terlihat bangga dan bahagia hingga dia memamerkan gue ke orang-orang yang dikenalnya hanya karena gue berjamaah subuh. Bahagianya bahkan terlihat lebih besar daripada saat gue lulus S2 dulu.

Niatnya setelah pulang dari masjid tersebut, gue mau langsung siap-siap buat balik ke apartemen karena gue hanya menjanjikan untuk menginap selama sehari pada Sheina. Namun ketika gue sudah berada di pinggir jalan, Papa menahan gue supaya nggak langsung pulang ke rumah.

ATHA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang