Bagian 81

11.8K 2.7K 1.2K
                                    

HAL yang membuat gue agak keteteran saat Shafira nggak masuk kerja adalah karena gue nggak pernah sempat untuk membereskan pekerjaan gue yang lain, sebab hampir semenit sekali telepon di meja gue berdering. Belum lagi beberapa email yang perlu gue respon cepat. Saat butuh dokumen tertentu aja, gue perlu cari sendiri. Karena nggak tahu letaknya, kadang kegiatan tersebut memakan banyak waktu.

Ini baru hari kedua Shafira cuti. Gue sama sekali nggak terbiasa dengan kursinya yang kosong dalam kurun waktu cukup lama. Biasanya Shafira hanya cuti satu-dua hari saja. Sejak seluruh bagian pintu Nata Adyatama di ganti dengan kaca, biasanya bayang-bayangnya masih bisa gue lihat.

Entah apa yang membawa gue datang ke tempat ini setelah pulang kerja. Rasa frustasi, rasa sayang, rasa rindu, atau rasa ingin memberikan hadiah yang berbeda dari yang lain di hari spesialnya Shafira nanti.

Secara impulsif, tiba-tiba saja gue memutuskan datang ke Mall yang dulu pernah gue kunjungi berempat bareng Shafira, Rafif, dan Mamanya. Apalagi setelah mengetahui dalam tiga minggu ke depan, Shafira akan resmi menjadi istri orang.

Gue telah memasrahkan semuanya. Untuk sekarang, biar Allah aja yang atur bagaimana baiknya. Kemarin-kemarin gue atur sendiri, semuanya berantakan.

Selayaknya seorang atasan, gue perlu memberikan hadiah di hari pernikahan Shafira nanti. Meskipun nanti nggak tahu, gue sanggup datang atau enggak. Setidaknya gue udah ada persiapan.

Gue mendatangi toko perhiasan yang dikunjungi Shafira dan Rafif saat memesan perhiasan untuk dijadikan mahar. Semoga saja pegawainya masih ingat dengan nama Rafif dan Shafira.

Sampai di tempat, gue banyak ditunjukan berbagai jenis perhiasan, terutama perhiasan couple seperti cincin. Dari mulai cincin tunangan hingga cincin pernikahan.

"Beberapa waktu lalu, dua teman saya memesan cincin pernikahan di tempat ini. Saya ingin mengetahui model yang mereka berdua pilih. Apakah bisa?" tanya gue pada pegawainya.

"Boleh saya tahu nama teman Anda?" tanyanya.

"Shafira Fakhira, atau mungkin pesanannya atas nama Muhammad Rafif Alfarezel." Nggak lama, pegawai itu mengecek sesuatu menggunakan tab khusus. Tiba-tiba dia seperti menyadari sesuatu.

"Ah, iya. Saya ingat dengan pasangan ini. Mari saya tunjukkan cincin yang mereka pilih. Kebetulan waktu itu saya juga yang melayani." Dia menunjukkan sepasang cincin yang sebelumnya sudah gue lihat.

"Ini perhiasan  yang di pesan, tapi saya ingat banget pihak perempuannya sebenarnya menginginkan perhiasan yang model ini." Pelayan itu menunjukan cincin lain dengan warna perak.

"Sebenarnya ini adalah model lama, Pak. Tapi sampai sekarang masih banyak peminat karena tampilannya yang simpel dan sederhana. Ini juga termasuk cincin pernikahan. Teman Bapak mempelai laki-laki atau mempelai perempuannya? Mungkin saya bisa carikan referensi yang mirip namun model terbaru bulan ini."

"Kebetulan saya kenal dua-duanya. Nggak usah, saya ambil yang ini aja."

"Tapi saya ingin memesan cincin ini dengan ukuran yang sama persis seperti yang teman saya pesan. Bisa, kan?" Mbak-mbak itu seperti bingung, mungkin dia kira gue mencari cincin couple untuk pernikahan gue sendiri.

"Saya ingin memberikannya sebagai hadiah pernikahan, bukan untuk pernikahan saya." Gue menambahkan informasi tambahan, membuat Mbak itu mengangguk-angguk. Memberikan cincin pernikahan di pesta pernikahan mungkin agak terkesan berlebihan baginya.

"Oh... Bisa, Pak. Saya kira untuk Bapak sendiri. Mau dibuatkan dua-duanya? atau hanya cincin perempuannya saja?" Gue berpikir sejenak. Terlalu kontras kalau gue hanya memberikan hadiah pada Shafira, apalagi hadiahnya cincin. Maka gue memutuskan untuk membeli dua-duanya.

ATHA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang