Bagian 6

16.2K 2.5K 284
                                    

KEGIATAN kantor gue minggu ini agak sibuk karena senin depan Mbak Indah sudah mengambil cuti. Gue mulai mengurus segala sesuatunya sendirian sampai nggak sempat makan siang. Cuti hamil memang harus sudah diajukan dari jauh-jauh hari, sehingga penggantinya bisa segera ditentukan atau bahkan dicari melalui perekrutan. Hal tersebut bertujuan agar yang menggantikan Mbak Indah nanti bisa masuk lebih awal dan belajar langsung dari Mbak Indah tentang jobdesc-nya sebagai sekretaris plan manager. Biasanya waktunya sebulan lebih awal, dan dari sebulan lalu pihak HRD sudah menanyakan hal tersebut baik formal melalui email ke gue, maupun personal.

Ya, gue kenal sama orang HRD yang mengurus bagian tersebut. Tiap ketemu gue di lobi pertanyaannya selalu sama. "Gimana Pak Atha? Saya mau follow up soal sekretaris yang bakal menggantikan Bu Indah. Pak Atha, mau mengadakan perekrutan atau enggak?", dan selalu gue jawab kalo gue masih mempertimbangkan hal tersebut. Jawaban itu berulang gue pake hingga tiba waktunya Mbak Indah cuti. Orang HRD pun kayaknya udah enek mengingatkan gue soal itu dan memutuskan untuk 'bodo amat', pada akhirnya gue yang akan repot sendiri karena banyak menunda.

Rekrutmen sesuatu yang prosesnya panjang, meski tugas gue cuma di bagian wawancara dan menentukan. Gue lebih prepare memilih supervisor untuk dijadikan sekretaris, selain gue udah tahu orangnya, gue juga udah tahu hasil kerjanya. Tinggal minta Mas Dean atau Mbak Aida buat menggantikan kerjaan Mbak Indah sementara, soal kontraknya akan di urus sama orang HRD kalau gue udah laporan. Lagipula cuma buat tiga bulan ini.

Habis pulang kerja,  gue mengajak Yessi untuk ketemuan setelah tiga hari berlalu dengan janji temu yang hanya sebatas wacana tanpa pernah terealisasi. Ritualnya masih kayak biasa, makan, nonton, dan gue minta ditemani untuk mencari hadiah buat Mbak Indah sebelum pulang nanti.

Bagi gue, obrolan ketika makan itu waktu paling berkualitas untuk mengambil insight dari seseorang. Sebab mood seseorang itu jadi baik kalo lagi makan. Tentu saja, itu hanya berlangsung kalau kita bisa mengimbangi obrolannya. Kalau obrolannya nggak nyambung, mau ceweknya cantik sejagad pun percuma. Syukurlah Yessi memenuhi dua kriteria itu. Dia menceritakan karakter orang tuanya yang 'asia' banget.

"Asian family are so fanny. They be like no dating, no boyfriends until college, and then the moment you graduated they be like; bawa dong pacar kamu ke rumah, kapan kamu punya cowok?, husband time... Gila nggak tuh, gue nggak boleh kencan, nggak boleh punya pacar, giliran baru lulus dua tahun udah di tagih calon mantu aja."

"It's the reason you play at nightclubs?" tanya gue. Yessi mengangguk dan gue tersenyum tipis atas tebakan gue yang jarang meleset.

"Karena didesak punya pacar, dan pertama kali juga deket sama cowok. Akhirnya gue pacaran sembarangan dengan orang yang menurut gue sangat baik saat itu. Selama kuliah gue nggak kenal minum sama sekali, Tha. Baru habis pacaran kenal sama hal-hal kayak begitu. Mana keluarga gue urusan nyari jodoh tuh Indo banget, urusan spesifikasi jodohnya China banget."

"Spesifikasinnya ..." Gue mencoba mencerna maksudnya. Keluarga khas Indonesia yang kerap kali mendesak segera mendapat jodoh, dan keluarga khas China yang biasanya menginginkan menantu yang punya darah China juga. "... Oh, keluarga lo menginginkan pasangan yang Chindo juga? Emang chindo itu harus selalu sama chindo lagi ya pasangannya?"

"Nggak semua chindo begitu sih, cuma 98%-nya lah. Gue pribadi nggak mengharuskan pasangan gue chindo juga, kebanyakan keluarga yang bikin ribet. Apalagi agak susah nyari chindo yang juga seiman."

"Bukan berarti kita nggak pernah menemukan orang atau cyrcle tertentu, kita menganggap mereka nggak ada. In fact, mereka bukan nggak ada, tapi kita yang nggak berusaha nyari. Coba nyarinya pas Imlek di tempat ibadah. Pasti nemu yang seiman." Yessi ketawa pelan mendengar respon gue.

ATHA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang