Extra Chapter 9B

16.4K 2.9K 1.2K
                                    

SETELAH mengantar Sheina dan melihatnya langsung masuk ke apartemennya, gue kembali ke hotel masih dengan menggunakan taxi. Saat itu mungkin sekitar pukul sebelas malam kurang. Ketika makan malam suasana agak mencair karena ada Sheina, ditambah kami perlu bersikap biasa saja di depan anak itu. Kembali ke kamar hotel, suasananya lain lagi.

Kamar yang kami tempati terdiri dari dua ruangan. Satu kamar tidur dan satu lagi ruangan yang berisi sofa yang bisa dipakai untuk kerja dan santai-santai. Shafira belum tidur saat gue kembali. Namun dia sudah berganti pakaian dengan piyama tidurnya, rambutnya yang lurus dibiarkan tergerai, dan harum parfumnya tak pernah hilang ketika ada gue. Padahal ketika turun ke restoran tadi saja, dia nggak menggunakan parfum sama sekali.  

Syukurlah piyama tidurnya masih aman. Gue dengan percaya dirinya menebak bahwa Shafira sengaja menunggu gue pulang karena khawatir, rupanya dia sedang membereskan sisa dari kekacauan yang gue buat tadi siang.

"Assalamu'alaikum." Gue mengucapkan salam agak keras untuk membuatnya tersadar akan kehadiran gue di kamar itu. Dia menoleh dengan, terlihat sedikit kaget, namun kembali pada aktivitasnya.

"Sheina sudah di antar sampai apatemen?" tanyanya pelan, agak ragu memulai pembicaraan.

"Eum..." jawab gue singkat. Posisinya dia sedang berdiri membelakangi gue, sedangkan gue sibuk memperhatikan dan menebak-nebak apa yang sedang dia lakukan.

Shafira terlihat seperti sedang memisahkan beberapa pakaian. Dia juga membongkar koper gue. Sepertinya semua piyama tidur, pakaian ganti, dan pakaian salat untuk satu minggu di Riyadh sengaja dia pisahkan dan keluarkan dari koper untuk di taruh di lemari.

Beberapa pakaian yang gampang kusut jika dilipat semacam gamis, abaya, jubah atau thawb dia gantung menggunakan hanger. Sekitar enam baju yang kusut terlihat masih tergeletak di atas tempat tidur. Gue mengambil keenam baju itu.

"Biar aku sektrika ulang yang ini," ucap gue sambil hendak membawanya ke ruangan luar agar lebih bisa leluasa menyetrika, ditambah meja dan setrika memang sudah gue minta pada room service dari semenjak check in mengingat istri gue orangnya rapi banget.

"Nggak usah... itu baju buat dua hari terakhir di Riyadh. Lagian ini udah jam sebelas malam, mending kamu istirahat. Kalau kurang tidur, khawatir besok malah demam lagi dan nggak jadi pergi. Kasian Sheina kalau kita nggak sama antusiasnya dengan apa yang udah dia siapkan..." Gue nggak bisa menebak dari mana Shafira tahu kalau gue mengalami jet lag hingga demam.  Namun dari bicaranya yang agak panjang, gue bisa merasakan ada konotasi penyesalan di balik suaranya.

"Nggak apa-apa, aku setrika sebentar. Cuma enam baju nggak akan nyampe setengah jam. Biar kita bisa fokus liburan di enam hari besok." Shafira masih melarang gue dan mengikuti kemana gue berjalan.

"Nggak usah, Tha..."

"Nggak apa-apa, tapi maaf kalau hasil menyetrika aku ternyata nggak serapi kamu."

"Kalau gitu yang ini nggak usah disetrika. Piyama tidur aku bahannya rayon dan memang gampang kusut, percuma juga disetrika kalau nanti malah kusut lagi. Yang dua ini juga nggak perlu, kusutnya nggak terlalu parah." Dia mengambil beberapa pakaian dari tangan gue hingga hanya menyisakan dua pakaian saja. Gue hanya bisa mengangguk meresponnya.

Gue kira setelah gue berjalan ke tempat setrika dan mulai menyiapkan alat-alatnya. Shafira sudah kembali ke kamar. Rupanya dia masih berdiri memperhatikan gue. Suaranya tiba-tiba terdengar dan dia melarang gue untuk menoleh.

"Tha, aku mau bicara... tapi tolong jangan menoleh ke sini. Soalnya kemungkinan besar kalau ngomongnya sambil lihat wajah kamu, aku bakalan nangis."

"Bicara soal masalah tadi siang?" tanya gue tanpa menoleh dan pura-pura sibuk menggelar pakaian itu untuk disetrika. Padahal saat itu gue berusaha keras menyusun kata-kata untuk mengucapkan maaf padanya.

ATHA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang