Bagian 74

11.5K 2.6K 1.1K
                                    

TEPAT sehari sebelum gue menghadiri undangan Pak Jo. Gue mendapat email dari personalia tentang perizinan penelitian yang ditujukan untuk bagian perencanaan. Hal-hal seperti ini kadang memang dilakukan beberapa mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan magister atau doktoral yang berkecimpung di seputar bisnis atau properti. Biasanya yang mendapat banyak peminat bagi mahasiswa adalah divisi kontruksi dan arsitektur, bagian itu jaga yang paling banyak menerima mahasiswa magang.

Gue agak kaget ketika melihat nama yang tertera dalam surat perizinan yang terlampir dalam email tersebut, tertulis jelas di sana nama Hazm Zulmi Arrafi. Seratus persen gue yakin, nama itu adalah nama kakaknya Shafira. Ternyata dia masih mengejar magister. Mengambil program studi International Business Management di salah satu kampus swasta yang cukup terkenal sebagai salah satu kampus pencetak founder start-up unggulan di Indonesia.

Kontan gue menghubungi orang personalia agar bisa merespon cepat, gue meyetujui penelitian yang akan dilakukan Hazm. Dia perlu melakukan beberapa observasi dan wawancara ke gue selaku manager perencanaan, untuk waktu dan tempatnya Hazm bisa menyesuaikan dengan schedule gue, mengingat adiknya mengetahui secara pasti kapan gue sibuk dan kapan gue punya waktu luang. Jelas nggak bisa dalam waktu dekat, sebab minggu ini gue ada undangan dan minggu depannya gue mengambil cuti untuk liburan.

Berbicara tentang undangan, akhirnya Nalea luluh juga. Setelah gue katakan gue nggak akan menghadiri undangan Pak Jo kalau dia nggak suka gue datang dengan Shafira. Pada akhirnya dia tetap mengizinkan, lagipula gue berangkat bareng Pak Iman. Nggak akan ada celah untuk aneh-aneh. Pagi itu, gue bersiap lebih awal karena gue pelu menjemput Shafira dulu, memilih batik coklat kopi berlengan panjang untuk terlihat lebih sopan.

"Masyallah, Mas Atha hari ini..." Pak Iman mengacungkan dua jempolnya saat gue menemuinya diparkirkan apartemen, dia sudah lebih awal memanaskan mobil yang akan gue pake ke undangan.

"Kemarin-kemarin jempolnya cuma dikasih satu, Pak?" canda gue.

"Khusus hari ini jempolnya dua. Mas Atha kelihatan rapi banget, tampan, keren, plus wangi tenan. Pengharum mobil aja kalah, Mas." Gue hanya tertawa mendengar itu dan memutuskan untuk segera berangkat sebelum matahari semakin meninggi.

Nggak tahu kenapa, saat mobil makin dekat ke rumah Shafira, jantung gue berdetak terlalu cepat kayak lagi mengalami turbulensi di pesawat. Bahkan kedua tangan gue terasa dingin dan sedikit gemetar, padahal sebelumnya gue nggak pernah segugup ini. Sepanjang perjalanan tadi, gue sudah beberapa kali merangkai kata yang pas untuk meminta izin pada ayahnya Shafira.

"Ini ternyata rumah Mbak Shafira. Saya baru tahu Mbak Shafira tinggal di kawasan ini. Enak ya, kawasan kompleknya bersih dan terawat. Rumahnya juga adem dan banyak tanaman." Pak Iman menyadarakan gue kalau kami sudah sampai di tempat.

"Bentar ya, Pak. Saya harus minta izin dulu sama orang tuanya. Bapak bisa puter arah dulu aja di depan." Pak Iman mengiyakan, sementara gue keluar mobil dan berjalan menuju arah rumahnya Shafira. Sumpah, selama jalan kaki, lutut gue mendadak lemas padahal mau minta izin doang buat keundangan.

Gue mengatur nafas kemudian menekan bel yang ada disamping pintu sebanyak dua kali. Dalam hati gue berharap yang membukakan pintu adalah Shafira atau nggak kakaknya, jangan langsung bapaknya, biar mental gue agak siap. Sayangnya Allah kayaknya nggak memihak doa gue kali itu.

"Assalamu'alaikum, Pak..." Gue hanya mampu mengucapkan itu sambil mengukir senyum, sisanya gue blank.

Syukurlah pak Adam selalu lebih ramah dari dugaan. Dia menjawab salam gue sambil mengulurkan tangannya mengajak bersalaman. Bahkan menyambut gue dengan wajah secerah matahari siang ini.

"Mau jemput Shafira, ya?" Gue hanya bisa mengangguk saking tidak sanggupnya mengatakan apapun lagi.

"Silakan masuk dulu aja. Sebentar ya... Shafira kayaknya belum siap." Bukankah mendengar itu tandanya gue sudah mendapat izin untuk mengajak Shafira ke undangan, tapi rasanya masih abu-abu kalau gue belum meminta ijin secara langsung.

"Pak, saya... mau meminta izin untuk..." Gue terbata-bata, namun Pak Adam langsung paham maksud gue.

"Hazm dan Shafira sudah menjelaskan ke saya berkali-kali tentang undangan itu. Kalian memang mendapat satu undangan untuk berdua, kan? Mau bagaimana lagi, lagipula Hazm bilang kalian nggak akan berangkat hanya berdua."

"Iya, Pak. Saya bawa sopir kok, jadi nggak berangkat berdua, dan soal janji saya waktu itu... tentang nggak memberitahu Shafira terkait donor retina mata ibu saya. Saya minta maaf, saya nggak bisa menepatinya. Karena suatu situasi, saya jadi harus memberitahu Shafira soal itu." Pak Adam tertawa tipis.

"Ah, soal itu... padahal saya aja nggak ingat sama sekali tentang janji itu. Nggak masalah, sepertinya sekarang Shafira juga udah bisa lebih tenang kalau bahas soal kecelakaan itu." Bersamaan dengan jawaban Pak Adam yang membuat gue juga bisa merasa lebih tenang, Hazm datang membawakan minuman.

Sambil menunggu Shafira selesai bersiap, gue sempat banyak mengobrol dengan Hazm dan ayahnya. Sebenarnya memang gue yang datang terlalu awal, kami janjian jam sepuluh, tapi gue datang lima belas menit lebih awal. Niat menghindari macet, namun jalan raya ternyata selancar itu.

Kami banyak membahas tentang penelitian yang sedang Hazm lakukan untuk tesisnya. Dia orang yang ternyata benar-benar mengagumkan, pendidikan S2-nya di dapatkan dengan beasiswa. Beberapa kali sempat magang di perusahaan-perusahaan internasioanal meski bukan perusahaan yang bergerak dalam bisnis properti. Satu semester dia pernah pertukaran pelajar pelajar ke Heriot-Watt University, Dubai.

Kalau Papa ketemu Hazm, dia akan langsung menawarkan pekerjaan dan menyebutnya sebagai "Aset Nata Adyatama", apalagi dengan seluruh kepribadiannya, gue yakin Hazm akan ditarik masuk tanpa ada proses seleksi dan wawancara. Gue mengetahui itu secara tidak langsung, sebab Hazm bukan orang yang terlihat membanggakan diri dengan pencapaian.

Disela-sela gue mengebrol dengan Hazm dan Pak Adam, Shafira menuruni tangga tanpa tahu kalau gue sudah datang. Mata gue terlalu otomatis untuk menatap ke arahnya. Dia sempat salah tingkah saat menemukan gue sudah duduk di ruang tamu.

Gue nggak tahu bidadari di Surga bakalan secantik apa, tapi gue yakin mereka akan cemburu pada Shafira saat ini.

"Ekhem..." Pak Adam berdehem dengan cukup keras, membuat gue merasa ditegur karena terlalu lama menatap anak perempuannya.

"Shafira udah siap, mending kalian berangkat sekarang aja biar nggak terlalu panas dan nggak terlalu lama," sambung Pak Adam. Kami akhirnya berpamitan saat itu, dengan gue yang mati-matian berusaha untuk menjaga pandangan.

__________

To be continued.

Ramein aja, Mil. 🔥

Athaya pas Shafira turun tangga:

Make the Qur'an as the main reading

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Make the Qur'an as the main reading.

Make the Qur'an as the main reading

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
ATHA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang