Bagian 3

18.9K 2.5K 419
                                    

SELAIN pawangnya Sheina, gue juga cocok disebut pawang buat tiga teman gue yang lain, karena gue punya toleransi cukup tinggi pada alkohol dibandingkan mereka bertiga. Nggak kayak Gema sekarang, yang baru minum beberapa sloki aja langsung berulah. Dia nangis-nangis di dance floor sambil menyebut nama mantannya. Yang berulah satu, yang malu satu tongkrongan. Yeah, that's the risk you have to take when you're in a circle.

Biasanya kalau Vian lagi sadar, kejadian kayak gini dia yang rekam. Pokoknya aib kita bertiga paling banyak diarsipkan olehnya. Gue yang biasanya mengatasi ketiga teman gue saat mereka udah terlalu teler alias hangover. Antisipasi kalau tiba-tiba lagi nggak sadar mereka melakukan pelecehan ke cewek yang nggak dikenal, atau tiba-tiba mukul orang. Gue juga yang kena entar.

Gema gue antar ke mobilnya karena benar-benar udah kehilangan kesadaran. Untungnya dia memang bawa supir malam itu. Sisanya kami bertiga yang masih memiliki separuh kewarasan memilih untuk nongkrong di bagian barnya di lantai dua, meninggalkan kerumunan yang masih nyanyi-nyanyi sambil joget di lantai satu. Sebenarnya di lantai satu juga disediakan tempat duduk dan meja. Cuma karena suara musik yang keras banget, ngobrolnya mesti teriak-teriak.

Percakapan antar pria biasanya makin pagi memang makin random. Mau apapun topik yang dibicarakan di awal dan pertengahan. Curhat soal cewek, finansial, bisnis, keluarga, kerjaan, masa depan. Closing nya akan selalu di tutup dengan topik tentang agama. Makin pagi, obrolan tuh serasa makin syar'i aja bawaannya.

"Ada satu tipe cewek yang menurut gue ganggu banget. Kayaknya model begini bakal selalu gue hindari. Cewek yang cuma mengandalkan fisik doang. Benalu, benar-benar cuma ngandelin penampilannya aja. Nggak ada hal lain yang dia punya selain dia cantik," Dipta memulai topik baru.

"Oh, gue tahu tuh. Tipe cewek cantik, good looking. Tapi di ajak ngobrol nggak nyambung. Diminta lakuin apapun nggak bisa. Princess since her birth, yang hidupnya cuma pengen serba di layani. Nggak ada skill lain," komentar gue.

"Yes, exactly! Based on your historical experience, ya? Deskripsinya detail sekali."

"Si*lan! Nggak gitu juga!" Gue melempar gulungan tisu yang ada di hadapan gue ke wajahnya.

"Tapi ada loh di kantor gue. Cewek dengan kapabilitas model, dia nggak pernah posting foto sama sekali. LinkedIn aja nggak ada foto profilnya. Padahal dari ujung kepala sampai ujung kaki tuh sangat-sangat potensial. Katanya pernah kena penyakit apa sih yang dari pandangan gitu? Ain atau apa kalau nggak salah. Sampai nggak bisa jalan berbulan-bulan."

"Kayak santet gitu? Ya, Tuhan. Ini tahun berapa masih percaya  begituan." Vian meragukan.

"Bukan santet. Ah, elah ketahuan banget lo nggak pernah ngaji! Beneran ada penyakit ain itu. Penyakit yang disebabkan pandangan manusia."

"Gue kristen, Bangs*t! Emang gue kagak pernah ngaji. Di Alkitab gue adanya Pengkhotbah 9:7 menghimbau, Minumlah anggurmu dengan hati yang senang. Emang penyakit kayak gimana sih?" Gue tertawa menyimak obrolan dua orang di depan gue.

"Kayak misalnya orang lain tuh iri liat kerjaan lo yang enak, hidup lo yang mudah, nah pandangan iri atau hasad mereka itu bisa aja bikin lo mengalami masalah di kerjaan, atau menyebabkan hidup lo tiba-tiba banyak aja masalahnya. Atau kasusnya gini, ada orang yang cantik. Terus karena banyak yang iri tiba-tiba kulitnya rusak parah, bisa juga sering sakit-sakitan." Dipta masih menjelaskan. Sesuai dengan yang gue bilang, closing selalu ditutup dengan topik agama.

"Kena ain bukan berarti seseorang itu cantik atau ganteng. Ain tuh nggak memandang fisik atau strata sosial. Kena ain itu tanda kalo orang tersebut kurang dzikir. Ya, kalo lo dzikirnya rajin nggak akan kena begituan, Dip," interupsi gue.

ATHA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang