Bagian 26

13.3K 2.4K 355
                                    

KEDATANGAN gue disambut dengan beberapa panitia bagian konsumsi yang berada di kafe tersebut. Mereka mempertanyakan alasan kenapa Shafira bisa sampai pingsan seperti ini. Namun gue nggak punya waktu untuk menjelaskan sebelum membuat Shafira berbaring terlebih dahulu dengan nyaman. Ditambah lokasi kafe yang lumayan jauh dari jarak Shafira pingsan tadi, membuat lengan gue mulai keram. Shafira sebenarnya cukup ringan untuk di angkat, hanya saja tangan  gue yang baru-baru ini cuma sibuk sama layar dan keyboard nggak siap kalau tiba-tiba harus angkat beban.

Nggak ada panitia laki-laki yang ditugaskan di tempat itu, meminta bantuan pada pegawainya sunggu membuat gue nggak nyaman. Hingga akhirnya gue sendiri yang harus membawa Shafira ke lantai dua, tempat yang dirasa cukup layak untuk dipakai berbaring. Ada sebuah sofa yang cukup panjang di ruang istirahat karyawan tersebut.

"Awas hati-hati kepalanya," kata salah seorang dari panitia ketika gue mencoba membaringkan Shafira. Nggak ada satu pun dari mereka yang gue kenal atau gue tahu namanya. Thank God! Name tag panitia yang mereka pakai membuat gue mudah menemukan dan mengenali mereka.

"Dia pingsan karena panas dan kecapean." Gue mencoba menjelaskan secara singkat. Butuh waktu lebih lama untuk menjelaskan kronologi kejadian atau menjelaskan soal PTSD-nya kepada mereka berdua. Siapa tahu Shafira memang sengaja nggak memberitahu teman-temannya.

"Anak-anak panti yang bareng Shafira gimana?" tanya yang satunya.

"Mereka nunggu di stasiun Texan Train bareng Hilya. Kira-kira ada panitia yang bisa gantiin Shafira sementara nggak? Biar ada orang dewasanya."

"Panitia konsumsinya di sini cuma ada dua orang, kalau satu orang jaga Shafira, satu orang lagi jaga di depan. Ada sih, tapi mungkin saya hubungi dulu orangnya untuk datang ke sini." Butuh waktu lumayan lama untuk melakukan rencana tersebut. Syukur-syukur kalau orang yang dihubungi jaraknya dekat.

"Kalau gitu, saya gantikan sementara. Nanti tolong kabari saya kalau gantinya udah ada." Gue hendak meninggalkan ruangan itu sampai ada hal lain yang perlu gue sampaikan ke mereka.

"Nanti kalau Shafira udah sadar tolong kabari saya juga... dan kalau bisa... setelah dia sadar nanti dia di bagian konsumsi aja, jangan keliling lagi. Saya bisa mempercayakan Shafira ke kalian, kan?" Perempuan itu mengangguk dan terlihat sedikit heran dengan permintaan gue. Setelah mendapatkan kepastian tersebut, gue melanjutkan langkah.

Baru dua anak tangga, gue baru menyadari tindakan gue memang agak berlebihan setelah mendengar pembicaraan dua panitia itu. "Kenapa dia sampai segitunya ke Shafira, ya?"

"Mungkin merasa bertanggung jawab karena Shafira sekretarisnya."

"Tapi kan ini di luar kantor, di luar kerjaan."

"Ya udah lah, nggak usah dipikirin. Nolong orang kan nggak mesti harus ada alasan. Udah syukur pas Shafira pingsan pas lagi ada atasannya. Mending sekarang bikin teh anget sana. Tangannya Shafira dingin banget."

Gue langsung terburu-buru melanjutkan menuruni anak tangga dan meninggalkan tempat tersebut. Pikiran gue jadi berkutik dipertanyaan yang sama. Apa khawatir gue sekontras itu sampai orang-orang yang nggak gue kenal aja bisa menyadarinya dibandingkan diri gue sendiri? Kalau memang iya, pantaskah gue mengkhawatirkannya sejauh itu hanya karena Shafira dapat donor mata dari nyokap? Pikiran gue hanya berputar-putar memikirkan itu sambil berjalan kembali menuju stasiun Texan Train.

Hilya bersama tujuh anak panti lain masih menunggu dan duduk-duduk di tangga stasiun. Ketika gue menghampiri mereka, hal yang pertama Hilya tanyakan langsung soal Shafira. "Gimana Kak Shaf? Dia baik-baik aja, kan?" wajahnya masih murung meski air mata sudah kering menyisakan sembap dikedua kelopaknya.

"Dia baik-baik aja kok, buat sementara saya yang akan menemani kalian. Ada tempat atau wahana yang mau dikujungi?"

"Aku mau liat dinoasurus!" kata yang paling kecil. Rasanya ini bukan museum apalagi jaman purba.

ATHA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang