Bagian 93

9.8K 2.6K 731
                                    

SUDAH dari dua hari yang lalu, gue menyampaikan informasi pada Dean secara nonformal kalau kedepannya dia akan bekerja sebagai sekretaris gue. Gue juga sudah menyampaikan pada personalia tentang orang yang lolos rektrumen kemarin. Namun orang tersebut akan bekerja sebagai supervisor mengisi posisinya Dean, bukan sebagai sekretaris gue. Penggantinya juga sudah sudah masuk kerja dan sedang dibimbing oleh Dean, sebelum Dean secara totalitas bekerja sebagai sekretaris gue.

Hari ini gue sudah mulai mengajak Dean untuk menemani gue meeting, agar bisa lebih memahami pekerjaan dia kedepannya. Ini memang terasa tidak adil, Dean punya waktu untuk menyesuaikan diri menjadi sekretaris gue. Sementara dulu Shafira tiba-tiba masuk tanpa dibimbing siapapun. Hebatnya, dia bisa mempelajarinya dengan cepat.

"Nah, kebetulan banget kamu baru datang. Saya mau mengenalkan sekretaris baru yang bakal gantiin posisi kamu ke depannya," ucap gue tanpa mengenalkan lagi Dean pada Shafira, karena mereka sudah sama-sama mengenal.

"Maksudnya gantinya saya Mas Dean?"  Gue mengernyitkan kening mendengar panggilannya.

"Cowok seumur Dean kamu panggil Mas. Cowok seumur saya, kamu panggil Pak. Dean tuh anaknya udah dua loh." Gue melakukan komplain atas hal tersebut, karena di hari pertama Shafira bertemu gue, dia memanggil gue dengan panggilan Pak.

"Maunya Pak Athaya dipanggil Mas juga sama kamu, Shaf. Benar gitu kan, Pak?"  tanya Dean sambil tertawa. Gue nggak mau dipanggil Mas juga sih, gue lebih ingin Shafira memanggil gue dengan nama langsung.

Sebenarnya Dean sama gue umurnya cuma beda dua tahun, tapi Dean memutuskan untuk menikah di usianya yang ke dua puluh tiga tahun. Jadi sekarang dia sudah punya anak dua, yang paling besar berumur lima tahun dan yang paling kecil baru beberapa bulan lalu lahir. Makanya kadang gue memanggilnya nama langsung karena umur kita nggak terlalu jauh, kadang juga pakai panggilan Mas karena terbawa oleh orang lain.

"Ngomong-ngomong berarti bener ya, rumor katanya Shafira mau resign gara-gara nikah?" tanya Mas Dean. Shafira hanya meresponnya dengan senyum kecil, senyum yang kini terlihat lebih santai ketika membicarakan soal pernikahan. Gue malah salah fokus karena Shafira tiba-tiba menyembunyikan jari-jarinya dengan pergerakan halus ke belakang. Sepertinya dia sudah tidak mengenakan cincin pertunangannya lagi.

"Sekarang kita ada meeting di Akhtaj Kafe Menteng. Saya sengaja ajakin Dean, jadi nanti kamu delegasikan aja beberapa tugasnya ke Dean. Buat sementara Dean akan handle di dua bagian, karena supervisor penggantinya masih baru dan belum bisa handle sendiri."

"Kalau gitu, saya langsung ke ruangan aja kali, ya?" tanya Shafira bingung karena gue nggak mengajaknya meeting.

"Ya kamu tetap ikut meeting juga lah, Ra. Mas Dean kan belum tahu cara kerjanya kayak gimana. Kita naik mobil saya aja, biar bareng. Nggak masalah kan kalau bertiga?" Mas Dean sempat melirik gue heran saat gue menanyakan itu pada Shafira. Namun pada akhirnya dia dengan inisiatif menawarkan diri untuk menyetir sebab hari itu Pak Iman lagi izin.

Sampai di tempat, kliennya malah ngaret dan menginfokan kalau mereka masih di perjalanan dengan alasan yang sangat-sangat umum di Jakarta, yaitu macet. Saking lamanya menunggu, Dean sempat menanyakan toilet berkali-kali karena dia kebanyakan menikmati minuman manis.

"Nyari tempat sholat apa toilet, Mas? Kalau tempat salat ada kok di lantai bawah, tapi kalau mau nyari masjid paling yang dekat di daerah sini masjid Al Inayah. Di pertigaan jalan Menteng 1D," jelas gue.

Gue sering berada di lingkungan ini dan menepi kalau azan tiba-tiba berkumandang, jadinya gue banyak mengingat titik lokasi mana saja yang terdapat masjid. Terutama masjid-masjid yang bisa dipakai untuk parkir mobil.

ATHA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang