Bagian 118

13.3K 2.8K 2.1K
                                    

MUNGKIN ini jauh dari pernikahan yang diidam-idamkan. Shafira benar-benar menginginkan pernikahan yang sangat sederhana. Dia hanya ingin acaranya seperti barbeque-an bersama keluarga dan teman-teman dekatnya, menggunakan sneakers putih polos untuk membuatnya nggak pegal berdiri lama karena harus mengenakan stiletto tinggi. Tidak ada acara ganti baju, kami sepakat untuk menggunakan setelan serba putih untuk hari spesial tersebut.

Mahar sepenuhnya dia serahkan ke gue, berapapun nominalnya. Gue nggak memberikan hantaran dan barang-barang yang biasanya dibelikan mempelai pria sebagai hadiah. Keluarga Shafira juga nggak keberatan tentang itu, karena dia akan langsung ikut ke Jakarta setelah akad dilangsungkan. Ribet aja kalau harus membawa hantaran ke rumah Shafira, terus dari sana di bawa lagi ke Jakarta.

Di saat orang lain menjelang hari pernikahan akan sibuk menentukan tempat, memilih gaun, mencetak undangan, memilih WO dan ketering. Kami malah sibuk belajar masing-masing tentang segala hal yang belum sempat kami pelajari menjelang pernikahan.

Baik persiapan fisik, spiritual, intelektual, bahkan persiapan mental kami matangkan sesegera mungkin. Syukurlah sebagian besar ilmu yang berkenaan dengan pernikahan sudah gue pelajari, seperti fiqih-fiqih berkaitan dengan pernikahan, hak dan kewajiban suami terhadap istri, begitupun sebaliknya.

"Mahar itu bukan yang murah, tapi yang 'mudah'. Jangan di salah artikan. Mudah yang dimaksud artinya mahar yang nggak memberatkan mempelai pria. Kalau bagi kamu dua miliyar itu mudah dan nggak memberatkan sama sekali, silakan berikan sebanyak itu. Jangan tanggung-tanggung." Gue mendapat petuah dari Om Adi, om kedua gue.

"Aku udah mengambil keputusan kalau maharnya akan disesuaikan dengan tanggal kami menikah dalam mata uang dirham, Om."

"Berarti tanggal dua puluh dua, bulan april, ya? 20-04-23. Kalau dibuat angka jadi 200.423 dirham. Dikali nilai tukar terhadap rupiah saat ini..." Om Adi mengecek nilai tukarnya melalui ponsel terlebih dahulu.

Hari ini gue memang lagi di Bandung untuk mengambil beberapa persyaratan yang dibutuhkan untuk mendaftar ke KUA. Semenjak pertemuan kami malam itu, gue nggak pernah berkirim pesan atau bertemu dengan Shafira sama sekali.

Ini yang sering salah kaprah dan dilakukan kebanyakan orang, seolah khitbah dan rencana pernikahan menjadi pintu untuk melonggarkan syariat. Pergi berdua, berdiskusi berdua, hal-hal yang dianggap biasa saja dengan dalih 'akan menikah'. Meski hanya hitungan hari, gue dan Shafira tetap menjaga jarak seperti sebelumnya.

Gue lebih banyak berdiskusi dengan Hazm. Gue bahkan nggak mengambil libur kerja dan tetap kerja kayak biasanya. Bolak-balik Jakarta mengurus rumah agar cepat selesai dan bisa langsung di ditempati setelah menikah nanti.

"Nggak nyampe 1M dong, Tha. Nanggung banget cuma 890 juta. Lebih dari ini aja buat kamu masih mudah."

"Aku sengaja mengambil range pertengahan, Om. Nggak terlalu sedikit, juga nggak terlalu banyak."

"Kenapa begitu?" tanya Om Adi penasaran. Biasanya setiap laki-laki yang akan menikah, tentu ingin memberikan yang terbaik untuk pasangannya dan gue malah mengambil jalan tengah.

"Aku nggak tahu kedepannya pernikahan aku dan Shafira akan kayak gimana. Kami memang nggak berencana menikah untuk berpisah. Tentu aku berharap dan berdoa pernikahan aku langgeng, sakinah, mawaddah, wa rahmah kayak Om sama Tante Utami sekarang. Namun kalau suatu saat, naudzubillah... ini terjadi. Shafira mengajukan khulu karena alasan yang syar'i, ada dua pendapat ulama tentang itu, Om."

"Pertama, Shafira harus mengembalikan sesuai dengan nominal mahar yang pernah aku kasih. Kedua, dia harus mengembalikan sesuai nominal kesepakatan kami bersama. Ketika mahar yang aku kasih terlalu besar nominalnya, itu akan memberatkannya saat dia mengajukan khulu nantinya."

ATHA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang