Bagian 50

13.8K 2.7K 672
                                    

MENCERITAKAN hal tentang diri gue, bagaimana kehidupan keluarga gue, apa yang gue rasakan, masalah apa yang sedang gue hadapi adalah hal yang sering gue pikirkan berulang kali. Gue tidak menganggap menceritakan segalanya adalah sebuah solusi. Gue sering berpikiran bahwa gue hanya akan membebani orang yang sudah punya masalah, dengan masalah gue.

Beberapa telinga, kadang hanya mendengar untuk sekadar ingin tahu, tanpa benar-benar peduli apa yang gue alami. Beberapa yang lain malah berwajah dua. Di depan gue terlihat peduli, di belakang gue malah mengkritisi apa yang gue bicarakan pada orang lain. Namun untuk kali ini, gue ingin mencobanya. Penasaran apakah dampaknya lebih baik dibandingkan sebotol lambrusco.

"Mau mendengar sad story versi saya? Saya belum pernah mengatakan ini pada siapapun." Shafira sempat melirik jam tangannya terlebih dahulu, pesanannya juga belum selesai disiapkan. Akhirnya dia menanggapinya dengan anggukan.

"Saya baru bertemu dengan Papa saya ketika saya akan masuk SMP. Sulit mengenalnya karena sejak lahir saya hanya dibesarkan oleh seorang ibu, tanpa mengenal bagaimana sosok ayah. Ibu saya sampai berhenti kuliah demi melahirkan dan membesarkan saya. Mengugurkan segala cita-cita dan pendidikannya. Melihat seorang anak yang lahir tanpa seorang ayah, you can guest what other people say about my life."

"Anak haram, beberapa teman saya memanggil saya dengan panggilan tersebut saat saya masuk kelas satu SD. Mereka bilang ibu mereka membicarakan saya dan memanggil saya dengan panggilan tersebut. Saya tidak marah saat itu, namun suatu hari mereka memanggil saya dengan sebutan 'anak pelacur'. Saat itulah saya memukul mereka dan membuat ujung bibir mereka hampir robek."

"Ibu saya yang saat itu sedang bekerja, dipanggil pihak sekolah. Saya sama sekali nggak berani mengatakan alasan dari tindakan yang saya lakukan pada ibu. Saya tidak mau menceritakan tentang panggilan-panggilan buruk yang saya dapat, karena saya tahu itu akan sangat-sangat menyakitinya. Kalau sampai tindakan saya mengharuskan saya pindah sekolah, kami membutuhkan biaya. Pada akhirnya, saya harus melihat ibu saya memohon dan meminta maaf pada orang tua dari anak-anak yang saya pukuli."

"Sejak saat itu saya berjanji pada diri saya sendiri untuk menelan segala hal yang saya dengar dan menghindari masalah yang akan membuat ibu saya semakin kesulitan atau menangis. Menginjak SMP saya diajak ibu saya untuk bertemu dengan keluarganya di Bogor. Dari kecil orang yang saya kenal sebagai keluarga hanya ibu. Saya nggak kenal sosok kakek, nenek, om tante, atau keluarga lain karena setiap kali saya tanyakan soal keluarga, ibu saya selalu bilang kalau mereka tinggal jauh di Bogor.

"Sampai di bogor, lagi-lagi yang saya dapat penolakan. Ibu saya akhirnya mengajak saya ke Jakarta. Mengenalkan saya pada pria bernama Andreas Yudistira Aditama di stasiun."

"Saya kira dia saudara Ibu saya yang memang tinggal di Jakarta. Pria itu juga membawa anak perempuan yang usianya jauh lebih tua dari saya namanya Indah Novelia Adiningrat orang yang menjadi sekretaris saya sekaligus sepupu saya. Saat itu Mbak indah sudah duduk di bangku SMA."

"Ibu saya meminta saya untuk tinggal bersama pria itu sementara waktu, katanya dia ada kepentingan yang akan membuatnya sibuk, tapi dia bilang dia akan menjemput saya secepatnya. Mendengar itu akhirnya saya mau tinggal sementara dengan pria tersebut, sementara Ibu saya kembali lagi ke Bogor.

"Awalnya saya memanggilnya dengan panggilan Om Andreas. Orang bernama Andreas itu bahkan memperbolehkan saya memanggilnya dengan panggilan Papa kalau saya mau. Bukan main senangnya ketika saya diperbolehkan memanggil seperti itu, karena sejak kecil tidak ada sosok laki-laki yang bisa dijadikan sebagai figur ayah."

"Hampir sebulan lebih saya tinggal di apartemennya ditemani Mbak indah sesekali. Sementara Papa hanya datang kalau weekend atau saat jam pulang kantor. Dia juga selalu pergi lagi dan nggak pernah tidur di apartemen. Setiap pulang sekolah Mbak indah selalu datang ke apartemen membawa banyak snack, lalu menemani saya main PS sampai malam. Dengan bodohnya saya mengira bahwa saya hanya harus tinggal di tempat itu sampai ibu saya kembali menjemput saya. I didn't know it was gonna be a big mistake."

ATHA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang