Author's note:
Bismillah, Assalamu'alaikum. Hola, kindreaders.
Seneng nggak meeting mendadak begini?
Pada buka postingan ini jam berapa, kapan, di mana, sama siapa? (Eh, kebanyakan).
Ya, intinya, selamat membaca.
____________
DALAM sebuah seminar tentang bisnis yang pernah gue ikuti, ada sebuah pertanyaan yang diajukan untuk narasumber. Apakah perasaan berharga yang kita miliki sebagai manusia? Narasumbernya menjawab dengan mengutip perkataan Dr. David Schwartz, bahwa perasaan kita yang paling tak ternilai harganya adalah 'penglihatan pikiran', gue nggak pernah bisa menafsirkan maksudnya. Melihat kembali pikiran, adalah sesuatu yang selalu berakhir duka bagi gue. Terlebih ketika menghubungkannya dengan perasaan.
Sebotol bir bahkan nggak mampu membuat gue mabuk dan melupakan sejenak apa isi kepala gue. Mungkin karena kadar alkohol dalam bir yang hanya 4-6%. "Gue mau pesan tequilla," kata gue dengan mata yang hampir terpejam. Tiga teman gue yang lain udah ngomong nggak jelas, atau mungkin gue yang mulai kehilangan kesadaran untuk menyimak omongan mereka.
"Lo... gue tahu lo ingin menghabiskan limit rekeningnya-nya Dipta, Tha. Tapi... jangan tequilla. Lo udah kebanyakan minum." Gema mengatakan itu tanpa mengangkat kepalanya dari sandaran kursi. Sementara Vian sudah terlihat kehilangan kesadaran. Dipta bahkan terlihat tak bergerak sama sekali. Perut gue kerasa mual dan kembung, tetapi di antara mereka nggak ada yang bisa gue percaya untuk mengantar gue pulang.
"Gue mau... telepon... Pak Iman dulu kalo gitu." Gue berusaha bangkit meski sempoyongan, menuju arah kursi paling dekat pintu keluar Play Bar yang nggak terlalu ramai. Bahkan dalam kondisi gue yang juga dalam pengaruh alkohol, gue masih memikirkan bagaimana nasib tiga teman gue yang udah lebih dulu hangover.
Beberapa saat gue berusaha mengumpulkan kesadaran lebih banyak dan mengeluarkan handphone dari saku celana. Gue mencari kontak Pak Iman dengan kondisi mata yang hampir kehilangan kekuatan untuk mengangkat kelopaknya.
"Pak, bisa... jemput saya... nggak? Saya ada di Play Bar. Saya bawa mobil tadi... saya nggak bisa nyetir sendiri buat pulang."
Gue yakin panggilannya sudah terhubung, tapi Pak Iman nggak bersuara. Gue berusaha membuka mata lebih lebar untuk memastikan. Mencari tempat duduk yang tidak terlalu berisik dan dekat dengan pintu keluar Play Bar, karena berdiri membuat gue merasa mengidap anemia. Gue harus berhasil menghubungi Pak Iman sebelum gue benar-benar nggak sadar.
"Pak Iman? Bapak... denger saya?" tanya gue ulang.
"Anda salah sambung. Saya bukan Pak Iman, saya Shafira." Suara di sebrang telepon malah menyebutkan nama lain yang sepertinya gue kenal. Shafira, gue berusaha mengingat-ingat di mana pernah mendengar nama itu.
"Shafira? Ah... Sekretaris baru itu. Kenapa kamu... kamu yang angkat... teleponnya Pak Iman?"
"Sejak awal ini nomer telepon saya. Bukan nomer telepon Pak Iman."
"Kamu tahu, Shafira? Saya... saya bisa minum sebanyak ini berkat kamu juga... Karena sikap arogan kamu kemarin. Dipta... dia menyerahkan kartunya untuk saya pakai sepuasnya."
"Maksudnya?"
"Apa menurut kamu... hari Minggu kemarin saya benar-benar memanggil kamu ke kantor hanya untuk... hanya untuk me-reschedule jadwal saya? Hhh... Nggak mungkinlah," gue tertawa pelan sambil mengatakan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
ATHA ✔
SpiritualTakdir tuh nggak kayak bisnis yang perencanaannya selalu lurus dan runut. Akan ada hambatan-hambatan, masalah, atau bahkan kegagalan. Oleh sebab itu perlu ada yang berperan sebagai problem solver. Wujudnya bisa berbentuk pemikiran, ide baru, prinsip...