Bagian 59

10.5K 2.4K 668
                                    

HUJAN berhasil membuat jarak tempuh yang harusnya hanya satu jam tiga menit, menjadi hampir satu setengah jam. Pegal menjalar hampir diseluruh punggung, membuat gue berpikir untuk menaikkan gaji Pak Iman saat menyadari beban kerjanya ternyata seberat ini. Gue bisa bernafas lebih leluasa dan meregangkan seluruh persendian saat mobil yang gue kendarai akhirnya sampai di depan sebuah rumah yang pernah gue datangi.

Shafira terlihat turun dari taksi, mobilnya melaju untuk putar arah di bagian depan. Sementara dia menghampiri mobil gue. Melihat itu, gue sengaja menurunkan kaca mobil.

"Kalau mau keluar nanti lurus aja, nanti putar arah di depan," katanya, padahal gue masih ingat jalan komplek ini.

"Cuma itu aja?" Gue tidak berharap dia menawarkan untuk mampir. Selain karena ini sudah sangat larut, gue juga nggak mau bertemu dengan ayahnya Shafira malam-malam begini dan menimbulkan kesalahpahaman lain.

"Makasih banyak udah mau nganterin pulang, dan Fii-"

"Fiiamanillah?" Tebak gue.

"Saya heran. Memang segampang itu, ya? Anda bisa membaca pikiran saya?"

"Udah saya bilang, mimik wajah kamu kalau berubah kelihatan banget, Ra... dan kalimat Fiiamanillah itu? Setiap kali kamu mau berpisah sama orang, kamu pasti selalu bilang kalimat yang sama. Artinya semoga selalu dalam lindungan Allah, kan?" Shafira menggangguk.

Kemudian dia hendak mengeluarkan uang dari tasnya, mungkin bermaksud mengganti biaya taksi tadi. Kontan gue menolaknya "Saya nggak menerima uang sebagai imbalannya."

"Kalau gimana saya bisa membalasnya?"

"Nanti kalau saya butuh sesuatu yang sekiranya bisa kamu bantu, kamu harus mau bantu. Itu bayarannya." Shafira terlihat berpikir sebentar.

"Yes, for sure," dia menyetujuinya.

Hening menyelimuti kami saat tak ada lagi topik yang bisa kami dibicarakan. Shafira hanya terlihat ragu menawarkan gue untuk mampir atau tidak. Selain karena ini sudah cukup malam, tetap saja basa-basi menawarkan mampir setelah apa yang gue lakukan masih dia pertimbangkan.

Entah bisa dikatakan sebuah kemajuan atau bukan. Sepertinya hari ini menjadi hari paling banyak gue berkomunikasi dengan Shafira, di luar dari hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan.

"Mau mampi-"

"Eh, Ra. Saya-"

Kami berbicara hampir bersamaan. Gue mempersilakannya untuk berbicara lebih dulu.

"Mau mampir dulu mungkin?" Gue tersenyum mendengar itu.

"Terdengar seperti tawaran yang tidak diinginkan... tapi makasih, mungkin lain kali. Saya harus langsung menuju rumah sakit sekarang," jawab gue.

"Tadi Anda ingin mengatakan apa?"

"Ah, itu... Malam ini, selesai menemui Sheina, saya langsung berangkat ke Karawang. Paling pulang sebentar buat ganti baju dan ngambil keperluan lain, terus langsung lanjut ke Karawang."

"Malam ini banget? Meeting bareng direktur yang dari kantor cabang yang di Karawang itu bukannya harusnya hari Rabu setelah libur?"

"Mereka melobi ke saya, minta dimajukan jadwalnya ke hari Sabtu. Katanya hari rabu mereka ada rapat direksi juga. Makanya saya tarik ke besok aja, daripada bentrok. Biar saya bisa liburan sejenak di sana. Saya males kalau harus berangkat besok pagi, mending berangkat malam ini biar nggak terlalu macet. Kamu bisa bantu reschedule jadwalnya, kan?" Dia mengangguk mengiyakan.

Bukan hanya mengatur ulang schedule, Shafira juga menawarkan diri untuk memesankan kamar hotel dari sekarang. Supaya ketika gue sampai, gue hanya tinggal check in tanpa harus mengurus hal-hal lain yang biasanya cukup memakan waktu. Gue menyetujui penawarannya, karena kayaknya gue nggak punya waktu untuk mengurus hal itu.

ATHA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang