PENILAIAN paling rendah adalah menilai orang lain dari segi penampilan. Hal tersebut kerap kali gue lakukan ketika bertemu orang baru. Naluriah sebagai manusia—atau gue sebagai pria yang memang merupakan makhluk visual—untuk menggunakan mata lebih dulu dalam menilai sesuatu dibandingkan pancaindra yang lain. Penilaian gue tentang penampilan sering kali berubah ketika gue sudah melakukan komunikasi dengan orang tersebut.
Komunikasi, satu hal yang akan membuat kita tahu bagaimana isi pikiran dan perasaan seseorang, adalah hal yang sangat krusial dalam sebuah hubungan. Dari komunikasi, gue bisa tahu bagaimana kondisi ekonomi, pendidikan, dan attitude seseorang. Sebab uang memengaruhi nada bicara, pengetahuan memengaruhi gaya bicara, dan moral memengaruhi etika bicara.
Begitu pun penilaian gue terhadap seorang Rafif Alfarazel. Lima belas menit dari Shafira berpamitan meninggalkan kami berdua, gue dibuat takjub dengan pengetahuan dan etikanya. Kami banyak membicarakan hal terkait properti, mengingat latar pekerjaan kami yang hampir sama. Pembicaraan singkat itu jadi sangat menarik. Gue mengerti kenapa Shafira menyukai pria seperti Afif. He's too perfect to be a man.
"Kabarnya ALP lagi menggarap pembangunan unit apartemen di Tarumajaya, ya?" tanya gue. Astra Land Property bukan perusahaan sebesar Nata Adyatama, namun sering kali namanya tersorot sebab mereka pandai menemukan peluang.
Seperti proyek yang baru saja gue tanyakan barusan, unit apartemen di Tarumajaya bakalan punya value lebih sebab kehadiran jalan tol Cibitung–Cilincing yang baru saja diresmikan. Dengan adanya tol tersebut, kawasan Tarumajaya punya akses entry dan exit tol yang akan membuat pertumbuhan nilai tanah mencapai 15–20 persen.
"Ya, kawasan Tarumajaya dan di kawasan Tambun Selatan juga. Nggak heran kalau kawasan-kawasan ini terus dibidik pengembangan. Sekarang makin banyak ditawarkan properti yang menyasar segmen atas."
Bersamaan dengan jawaban Afif, seorang perempuan muda yang gue tebak masih seusia Sheina menghampiri kami berdua.
"Oh... Jadi ini Fatih Saferagic berhati Abdurrahman bin Auf. Salam kenal, Kak. Saya Hilya." Perempuan itu mengulurkan tangan ke arah gue dengan ramah dan penuh senyum, membuat gue kebingungan karena dia menyebutkan nama tokoh yang begitu asing di telinga gue.
Belum sempat menyambut hangat uluran tangannya, Afif lebih dulu merespons.
"Nggak boleh... bukan mahram, Hilya." Afif halus menegurnya.
"Eh, hehe... Maaf, Kak. Suka mendadak lupa kalau ketemu yang ganteng gini."
Jawaban anak itu membuat Afif menggeleng-gelengkan kepala karena tingkahnya.
"Fatih Saferagic dan Abdurrahman bin Auf itu...?" Pertanyaan gue menggantung. Awalnya gue mengira itu nama-nama panitia yang ikut acara juga.
"Itu pujian dan suatu kehormatan. Untuk orang tampan dan dermawan kayak Kak Athaya ini, semua orang manggil Kak Athaya dengan panggilan itu."
Ajaib! Dia bisa tahu nama gue, dan katanya semua orang memanggil gue dengan panggilan penuh hormat tersebut, padahal gue baru berkenalan dengan Afif seorang.
Hilya melanjutkan ucapannya dengan memelankan suaranya seperti akan berbisik, "Dan katanya... Kak Atha ini calonnya Kak Shaf."
"Ngawur kamu! Udah sana, gabung sama perempuan lagi. Maaf ya, Tha. Hilya panitia paling muda di sini. Dia masih duduk di bangku SMA, jadi masih sangat berani dan agak kekanak-kanakan."
Afif mewakilkan diri meminta maaf ke gue. Melihat responsnya yang langsung mengelak atas isu yang dikatakan Hilya barusan membuat gue menyimpulkan, mungkin dia juga menaruh atensi lebih pada Shafira.
![](https://img.wattpad.com/cover/314807778-288-k392635.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
ATHA ✔
SpiritualTakdir tuh nggak kayak bisnis yang perencanaannya selalu lurus dan runut. Akan ada hambatan-hambatan, masalah, atau bahkan kegagalan. Oleh sebab itu perlu ada yang berperan sebagai problem solver. Wujudnya bisa berbentuk pemikiran, ide baru, prinsip...