TEBAK apa yang pertama kali diajarkan Ustaz Harits ke gue? Tempat keluarnya huruf-huruf hijaiyah atau lebih kalian kenal dengan sebutan makhrojul huruf. Padahal gue nggak buta baca Al-Qur'an, tapi Ustaz Harits meminta gue belajar dari awal. Gue kira gue bakalan ngebut-ngebut aja belajar itu, faktanya gue kesulitan menyebutkan huruf jim dengan "tidak pecah".
Ustaz Harits bilang, bacaan Al-Qur'an yang salah akan sangat berpengaruh pada bacaan salat gue kedepannya, makanya harus benar-benar. Setelah pengucapan huruf jim yang gue pelajari hampir dua minggu, lagi-lagi gue kesulitan mengucapkan huruf tsa, sin, syin, dan sod. Apalagi kalau sudah ada harakatnya. Kayaknya sebulan gue cuma baru belajar iqro satu doang.
"Ikhlas itu tingkatannya lebih tinggi dari sabar, Tha. Makanya dalam belajar diperlukan ikhlas yang luas, bukan sekadar sabar yang besar." Kalimat itu terngiang-ngiang di telinga gue, membuat gue tetap semangat untuk belajar agama.
Sesuai perkataanya Papa ikut pindah ke Bogor, kami menyewa salah satu rumah yang nggak terlalu jauh dari asrama putra pesantren Darul Hikam. Agar kalau subuh-subuh mau berjalan atau salar berjamaah, gue bisa sampai hanya dengan berjalan kaki.
Karena gue meng-handle pekerjaan Papa sekarang, mau nggak mau gue tetap menyewa orang untuk mengurus dan merawat Papa kalau gue lagi nggak ada di rumah. Sebab kadang-kadang gue harus ke kantor Nata Adyatama kalau siang, atau ke rumah yang di Menteng karena kasian Mas Teguh kalau harus bolak-balik Jakarta-Bogor tiap hari.
Setiap belajar dengan Ustaz Harits, gue selalu minta izin untuk merekam suara. Supaya rekamannya bisa gue ulang-ulang dan gue dengarkan kembali ketika siang. Kadang lagi nyetir dari Bogor ke Jakarta aja, gue mendengarkan rekaman belajar makhrojul huruf itu, biar gue ada kemajuan.
Ketika bacaan Al-Qur'an gue terverifikasi aman dan benar. Gue lanjut belajar tata cara wudhu dan salat yang benar. Mungkin beberapa orang mengira itu kan gampang. Anak SD aja pada tahu.
Nyatanya dewasa ini, gue baru menyadari kalau wudhu dan salat gue banyak salahnya. Contoh sederhana, kesalahan gue notice pertama setelah belajar lagi—dan mungkin masih sering dilakukan oleh kebanyakan orang— adalah tidak mengecilkan keran hingga menggunakan air terlalu banyak. Padahal ada anjuran untuk menghemat air.
Nabi aja wudhu hanya menghabiskan satu mud, atau kurang lebih setengah liter. Seukuran telapak tangan orang dewasa. Gue kalau ke masjid nggak tanggung-tanggung, menyalakan keran sampai full dan wudhu seperti hendak menghabiskan satu toren penuh, kadang hingga membasahi pakaian yang sedang dipakai.
Lulus belajar wudhu, lanjut ke belajar bacaan dan tata cara shalat. Bisa satu hari pertemuan dengan Ustaz Harits, gue cuma belajar rukuk sampai pinggang gue sakit. Pernah suatu malam, gue praktik salat dari takbir hingga salam dengan tumaninah yang benar. Sekali bacaan atau gerakannya salah, Ustaz Harits akan meminta gue mengulangnya dari awal.
Namun bulan demi bulan berlalu, gue makin ada kemajuan. Nggak cuma belajar sama Ustaz Harits aja, kadang gue ikut menyimak santri putra saat belajar di masjid setelah Isya. Rasa malu dan gengsi gue hilang. Gue bahkan meminta salah satu guru di pondok pesantren Darul Hikam itu untuk menjadi tutor tahfiz sekaligus guru bahasa arab. Itu di luar dari pembelajaran utama gue dengan Ustaz Harits.
Setelah tata cara wudhu dan salat fardu, gue juga mempelajari tata cara salat-salat sunnah. Usai menguasai itu, gue diutamakan buat belajar tauhid karna itu yang paling penting.
Dikarenakan keterbatasan waktu yang hanya satu sampai satu setengah jam per hari, Ustaz Harits juga menunjuk salah satu ustaz lain dan mempercayakan gue untuk belajar kitab di sore hari setelah kerjaan gue selesai.
Gue belajar kitab Al-Ajurumiyah, gue belajar Amtsilah At-Tashrifiyah, nahwu dan sorof yang bagaikan ibu dan bapak. Begitulah hubungan kesinambungan antara dua jenis ilmu itu yang digambarkan Ustaz Faiz, guru yang usianya jauh lebih muda dari gue.
KAMU SEDANG MEMBACA
ATHA ✔
SpiritualTakdir tuh nggak kayak bisnis yang perencanaannya selalu lurus dan runut. Akan ada hambatan-hambatan, masalah, atau bahkan kegagalan. Oleh sebab itu perlu ada yang berperan sebagai problem solver. Wujudnya bisa berbentuk pemikiran, ide baru, prinsip...