Bagian 60

12.3K 2.6K 518
                                    

DEFINISI cantik itu banyak sekali maknanya. Gue memandang Sheina cantik, nggak lebih dari seorang adik. Bukan definisi cantik yang gue gunakan pada perempuan-perempuan yang memiliki pontensi sebagai pasangan gue kedepannya. Sederhananya gini, makna cantik yang gue pake saat memuji Sheina itu berbeda dengan makna cantik yang gue pake saat gue memuji Shafira.

Sheina menggunakan perbandingan yang tidak apple to apple, sehingga gue kontan menjawab kalau Shafira lebih cantik darinya. Padahal mereka sama-sama cantik, cuma punya makna cantik yang beda aja dalam padangan gue.

Yes, obviously that's just an excuse.

"Apa barusan?" Sheina meminta gue mengulang jawabannya.

"Cantikkan kamu," gue meralat jawaban sambil berharap Sheina tidak mendengarnya.

"Kayaknya bukan itu yang Kak Atha bilang tadi. Kak Atha bilang lebih cantik Kak Shafira."

"Kamu salah denger."

"Enggak ah," elaknya. Dia beralih pada Papa.

"Pa? Papa tadi denger Kak Atha bilang Kak Shafira yang lebih cantik, kan?" Sheina malah memperpanjang masalah dengan melibatkan Papa dalam pembicaraan ini. Gue juga nggak mungkin menjelaskan pada Sheina di hadapan Papa tentang konsep cantik di awal tadi. Itu hanya akan menjadi pertanyaan besar buat Papa.

Papa hanya berdehem dan mengganti posisi duduknya, tanpa melepaskan pandangannya dari buku yang sedang dia baca.

"Kamu jangan aneh-aneh, Tha. Lebih baik kamu pindahkan Shafira ke divisi lain secepatnya," komentarnya, seolah menjawab kalau Sheina tak salah dengar. Namun gue malah tak terima dengan kalimat terakhirnya.

"Apa yang aneh? Saya cuma bilang Shafira cantik," gue membela diri—bodohnya sekaligus pengakuan—gue rasa, tidak ada kelakuan gue yang mengharuskan gue memindahkan Shafira ke bagian lain. Selama ini, gue rasa sikap gue masih dalam batas wajar. Gue menghormati dan menghargai segala prinsip yang Shafira pegang.

Papa memutus kontak matanya dari buku, menaruh kacamatanya di meja sebelum menatap ke arah gue dan Sheina. Sepertinya pembicaraan ini akan lebih serius.

"Justru itu yang aneh. Bisa-bisanya kamu bilang Shafira lebih cantik dari adikmu sendiri. Papa nggak keberatan kamu mau kencan sana-sini, atau berpacaran dengan perempuan mana pun yang kamu mau padahal kamu sudah punya tunangan. Tapi jangan berani macam-macam sama Shafira, Papa nggak bisa mentolerir kelakuan kamu kalau perempuannya Shafiram." Rupanya dia lebih mengkhawatirkan Shafira, mengingat kelakuan anaknya selama ini benar-benar nggak bisa dipercaya.

"Mana mungkin saya macam-macam sama tunangan orang lain?" Gue mengatakan itu dengan perkiraan bahwa Papa mungkin sudah tahu kalau Shafira itu calon menantu pemilik perusahaan ALP Indonesia. Sheina yang awalnya hanya menyimak, kini ikut bicara.

"Kenapa kalian berdua malah jadi berdebat masalah Kak Shafira sih? Harusnya aku yang merasa nggak terima di sini. Kan aku yang dibilang nggak lebih cantik dari Kak Shafira?"

"Aku juga mengakui kok, kalau Kak Shafira memang cantik, jadi udah... Papa nggak perlu khawatir sama Kak Shafira, karena Kak Shafira udah mau nikah. Meskipun Kak Shafira kerja sebagai sekretarisnya Kak Atha sekarang, Kak Atha nggak mungkin macam-macam. Dia tahu mana perempuan yang nggak seharusnya di permainkan."

Anak ini kenapa lagi, definisinya tentang gue buruk sekali. Mempermainkan perempuan, tidak sama dengan hanya mengajak mereka makan.

"Kalian, hal kayak gini aja diributin." Sheina berhenti mengomel.

"Pokoknya kamu cantik, titik," ucap gue sambil hendak meninggalkan ruangan itu. Meskipun bukan mendebatkan hal soal keluarga, rasanya kalau diteruskan asap itu akan berubah menjadi api. Ditambah gue nggak mau makin malam berangkat ke Karawang.

ATHA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang