Bagian 86

11.9K 2.7K 1.2K
                                    

SOAL Shafira, ternyata pembicaraannya nggak berlangsung sesingkat itu. Ketika gue memutuskan untuk pulang naik taxi setelah berjamaah magrib di salah satu masjid yang dekat dengan Mall, Sheina sudah menunggu gue di ruang tamu masih dengan mukena dan Al-Qur'an pemberian Shafira. Dia seperti sudah bersiap mencecar gue dengan berbagai pertanyaan dipikirannya.

"Kak Atha harus menjelaskan, apa maksud dari perkataan kalau Kak Shafira bukan orang asing buat kakak? Apa kalian punya hubungan darah? Atau bagaimana?" Sheina mungkin belum tahu perihal donor kornea mata ibu kandung gue yang diberikan pada Shafira dulu. Sebenarnya bukan cuma karena hal itu aja, yang membuat Shafira bukan lagi orang asing buat gue.

"Saudara lah, saudara seagama dan setanah air." Gue menjawabnya dengan tidak serius, pasalnya ada Papa di ruang tengah. Sheina malah mengikuti kemana pun gue melangkah. Padahal gue mau ngambil air, haus banget.

"Ih! Kak Atha! Aku serius... Kalau saudara seagama dan setanah air, aku juga saudara, nggak mungkin sampai ikut campur ke ranah asmara. Dari tadi aku mikir beberapa kemungkinan, masa iya Kak Atha punya hubungan darah sama Kak Shaf? Kalau kayak gitu, kemungkinan Kak Shafira kakak aku juga dong."

"Ya Allah, Na... Novel genre apa lagi sih yang lagi kamu baca? Ngelantur banget. Bukan orang lain, kan bukan berarti saudara juga. Bisa jadi teman atau sahabat,"-bisa jadi orang spesial, tambah gue dalam hati.

"Nggak mungkin Kakak punya hubungan darah, tapi hubungan batin bisa aja ada. Penerima donor kornea mata dari ibu kandung Kakak, itu Kak Shafira," tambah gue.

"Kalau soal itu aku udah tahu, Papa udah pernah cerita. Tapi Kak Athaya hanya menganggap Kak Shafira sebagai teman atau sahabat?" tanyanya. Gue mengangguk.

"Teman atau sahabat doang?" Dia masih nggak yakin dengan jawaban gue.

"Terus kamu maunya Kakak menganggap Kak Shafira apa? Keluarga? Adek?" Gue balik bertanya agar pembicaraan ini lebih banyak Sheina yang mendominasi.

"Anggap teman hidup lah! Melihat kejadian tadi, aku rasa Kak Shafira masih ada kemungkinan nggak jadi nikah. Kalau Kak Atha punya ketertarikan yang serius sama Kak Shafira. Aku dukung paling depan. Aku bakal bantuin Kak Atha supaya kelihatan baik dan sholeh di depan Kak Shafira."

Dia terlambat sekali, tanpa diminta pun gue sudah melakukannya. Sheina nggak tahu seberapa sedihnya Shafira tadi, kalau dia tahu, dia tidak mungkin mengatakan hal itu. Gue hanya menghela nafas panjang. Menaruh gelas bekas minum di kitchen sink.

"Kelihatan baik dan sholeh? Dibanding cuma kelihatan baik dan sholeh aja, Kakak lebih ingin baik dan sholeh beneran, meski nggak ada yang melihat, meski nggak dapet validasi dari orang lain."

"Udah ah, bahas ini lagi... Kasian Kak Shafira..." Gue mengakhiri sesi tanya jawab itu.

Gue nggak berharap Shafira langsung masuk kerja kalau mentalnya masih belum siap dan pikirannya belum kembali tertata. Namun dia tetap langsung masuk kerja keesokan harinya dan beberapa hari berikutnya. Seolah nggak terjadi apa-apa.

Setelah kabar putusnya gue dan Nalea tersebar ke seluruh penjuru Nata Aditama, dan gue mendapatkan image sadboy karena mereka juga tahu Nalea dan Daffin pada akhirnya menjalin hubungan resmi. Gue terlihat seperti laki-laki menyedihkan yang ditinggalkan seorang anak menteri demi laki-laki lain.

Ada yang bilang juga, gue lagi dapet karma karena gue terlalu banyak main-main dengan perempuan lain saat berstatus sebagai tunangannya Nalea, sehingga diputuskan Nalea adalah karma yang wajar gue terima saat ini.

Gue baru menyadari kalau tembok Nata Adyatama itu memang punya telinga. Bukan hanya kabar berakhirnya hubungan gue aja yang ternyata viral di kantor, tapi juga kabar pernikahan Shafira dan Rafif yang merupakan Dirut Astra Land Properti saat ini. Waktu kami beserta beberapa orang sedang berada di dalam lift, Bu Rina tiba-tiba saja menggoda Shafira dengan kabar resepsinya yang semakin dekat.

ATHA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang