RAMAI orang berbicara, namun terasa senyap di telinga saat hanya sebuah suara yang tengah gue nantikan. Satu pertanyaan itu berhasil gue ajukan, tapi Shafira terdengar tak menjawabnya sama sekali. Entah karena mendapat pertanyaan yang terlalu tiba-tiba, atau dirinya memang belum selesai dengan masa lalunya. Jeda diantara dua tebakan itu membuat gue berdiri gelisah.
"Belum selesai apanya?" tanyanya, selalu terasa lembut di telinga.
Gue mulai banyak khawatir, bukan perkara zina pikiran dan mata saja. Pendengaran ini kelak akan bersaksi atas betapa lalainya diri ini dalam menjaga.
"Masa lalu?" tanya gue ulang. Syukurlah kalimat singkat itu dapat dipahami seluruhnya oleh Shafira.
"Udah selesai dari lama, belum siap untuk ketemu aja."
Tiba-tiba sebuah senyum terukir dibibir gue begitu saja tanpa Shafira ketahui. Namun pertanyaan itu hanya ia anggap sebagai rasa penasaran tak bermakna. Dia malah tertarik menanyakan hal lain.
"Ah, iya. Apa Anda berangkat umrah beberapa waktu lalu?" tanyanya. Sepertinya dia sempat menemukan gue juga di sana.
"Dibilang lagi umrah sih enggak, tapi melakukan perjalanan ke Arab, iya."
"Berarti orang yang saya lihat waktu di Jabal Rahmah itu..." Kalimatnya melayang, enggan menebak-nebak dan hanya ingin langsung mendapatkan kepastian.
"Saya sempat melihat kamu juga. Kamu menginap di Dar Al Tawhid Intercontinental Hotel, kan?" Barisan bergerak maju secara perlahan. Ada keinginan membuatnya lebih lama. Kalau saja nggak ingat dua malaikat mengintai manusia dari jarak paling dekat, gue nggak mau pembicaraan ini berakhir singkat.
"Kok tahu? Anda menginap di mana? Ada perjalanan dinas ke Saudi?"
"Ke Dubai. Saya sekalian mengunjungi Sheina di Riyadh. Dia kuliah di sana sekarang. Saya menginap dua hari di Fairmont Hotel, Mekkah Royal Clock Tower."
"Masyaallah, Sheina kuliah di Riyadh? Hebat banget. Terus dari mana Anda tahu saya menginap di hotel Dar Al Tawhid?" Antusiasnya membuat gue ikut merasa bahagia. Nggak ada cara lain untuk membuat segala hal ini tidak sebagai sebuah dosa, kecuali dengan menanyakan kesediaanya untuk menikah.
"Teman saya kebetulan sedang umrah juga. Dia menginap di hotel yang sama dengan hotel yang kamu tempati. Saya melihat kamu di lift."
"Sebentar-sebentar... Berati makanan khas Indonesia yang saya terima, itu dipesankan Anda?" Gue mengangguk.
Belum sempat merespon kekagetan Shafira kala tahu gue yang memesankan makanan, gue sudah harus maju menyalami pengantin. Begitulah cara Allah dengan hebatnya menegur gue untuk tak terlalu larut dalam bertegur sapa.
Kinan antusias melihat Shafira yang berjalan di belakang gue, sementara Abyan memasang senyum paling menyebalkan ketika melihat kami datang bersama.
"Shafiraaaaa... Makasih banget, ya, udah mau datang jauh-jauh. Cie, bawa calon sekarang." Mereka saling berpelukan seolah lama nggak pernah ketemu.
"Nggak sengaja aja tadi barisnya barengan." Shafira dengan segera melakukan klarifikasi tentang kedatangan kami. Gue mengucapkan doa pengantin diikuti ucapan selamat pada mereka berdua.
"Saya mau sekalian pamit pulang nih, doa terbaik untuk kalian berdua, ya."
"Loh kok buru-buru banget, Bro. Kan Shafiranya baru datang." Andai dia tahu yang membuat gue ingin cepat pulang adalah segala tingkah lakunya yang membuat wajah gue terasa memerah sejak tadi.
"Shaf, makan dulu, ya, jangan dulu pulang," sambung Kinan yang diiyakan oleh Shafira, karena enggan membuat antriannya semakin panjang, gue dan Shafira segera turun dari pelaminan mengikuti kemana arah orang-orang berjalan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ATHA ✔
SpiritualTakdir tuh nggak kayak bisnis yang perencanaannya selalu lurus dan runut. Akan ada hambatan-hambatan, masalah, atau bahkan kegagalan. Oleh sebab itu perlu ada yang berperan sebagai problem solver. Wujudnya bisa berbentuk pemikiran, ide baru, prinsip...