MENOLAK MENJADI OBJEK PENELITIAN MAHASISWA PSIKOLOGI

640 25 0
                                    

Sangat menyebalkan bukan, sekedar menjadi objek penelitian dan kita bukan lagi subyek yang pantas dihargai? Sekedar objek. Pada akhirnya sekedar objek. Hanya digunakan sebagai alat untuk batu loncatan para mahasiswa psikologi untuk meraih kelulusannya.

Sedikit mahasiswa psikologi yang sadar diri dan bisa memperlakukan dengan pantas seseorang yang dijadikannya bahan kajian atau sumber penelitian. Akhir-akhir ini aku membayangkan, mereka yang menderita gangguan jiwa sepertiku, yang tak memiliki kesadaran diri akan hal seperti ini dan tak banyak tahu tentang diri sendiri dan orang lain. Atau para penderita gangguan jiwa yang bukan intelektual. Kemungkinan besar mereka diperlakukan sebagai pihak yang tak setara. Atau jika kesetaraan itu ada, hanya sedikit mahasiswa psikologi yang melakukan penelitiannya dengan sungguh-sungguh dan disertai empati di dalamnya.

Banyak penelitian psikologis yang menghindari ranah empati dan sang peneliti sendiri sebisa mungkin menjauhkan diri dari perasaan itu. Yang itu berarti, kita ini tak lebih dari pada tikus, kelinci, dan babi percobaan saja. Kita hanya objek yang harus disamakan dengan benda. Padahal para binatang saja kini memiliki status berperasaan dan jalinan emosi yang kompleks.

Masalah terbesarnya adalah metode penelitian psikologi itu sendiri yang semakin menganggap manusia tak lebih dari pada objek belaka. Keinginan untuk mendapatkan skala objektivitas yang tinggi, membuat psikologi sendiri semakin menjauhi ranah empati. Hal ini diperparah dengan sudut pandang filosofis dan aliran behaviorisme dalam psikologi. Yang terjadi, kita yang harusnya adalah subyek penelitian, akhirnya tak lebih dari pada objek penelitian belaka.

Jika itu hanya digunakan untuk mengalami perilaku atau fenoma nampak dalam diri seseorang, itu tak jadi soal. Tapi jika itu terjadi dalam ranah klinis, dan mengarah ke individu langsung secara keseluruhan. Maka psikologi malah kian mengarahkan manusia untuk menjadi bagian dari mesin dan robot.

Ketidakpedulian para peneliti psikologi terhadap responden, klien, atau subyek penelitiannya, sangat terasa di negara ini. Sebuah negara dengan masyarakat dengan tingkat intelektual, empati, dan keinginan yang begitu minimnya dalam mengerti orang lain. Yang terjadi adalah kenyataan yang menyedihkan bahwa banyak mahasiswa psikologi, yang seharusnya adalah calon orang yang akan memanusiakan manusia. Malah menjadikan manusia sekedar objek belaka. Hanya sebagai alat yang sekali pakai setelah itu dibuang begitu saja.

Alasan terbesarnya juga karena kegagalan besar dunia psikologi di Indonesia. Tak jelasnya sistem dan arah pendidikan psikologi itu sendiri. Dan para mahasiswa psikologi itu sendiri bukanlah orang-orang yang tertarik dan kajian dan keilmuan psikologi. Saat mayoritas mahasiswa psikologi sendiri berkualiah tanpa adanya ketertarikan, kesungguhan, dan hanya sekedar ingin cepat lulus. Maka, isi kepala dia, hanya akan menjadikan semua manusia atau penderita gangguan kejiwaan, sebagai calon-calon baru objek yang akan dimanfaatkan sekali dan setelah itu, kita hanya sampah yang tak penting bagi mereka.

Aku sendiri, sebagai penyandang atau kadang penderita bipolar, sering menemui kasus mahasiswa psikologi yang hanya akan mengeksploitasiku saja. Mereka menginginkanku hanya sekedar untuk kelulusan mereka. Bukan sebagai peneliti psikologi yang serius atau yang benar-benar menghargaiku.

Saat para mahasiswa psikologi yang tengah menjadi peneliti klinis, lebih mementingkan diri mereka sendiri, egosentris, berpikir banyak untuk tak rugi, begitu pelit untuk ilmu pengetahuan, dan terjebak masalah pribadi atau percintaan sehingga menjadikan dirinya sangat tak sungguh-sungguh. Maka lebih baik kita menolak untuk menjadi objek penelitian mereka. Atau jika kita sudah terlanjur terlibat, kita bisa menolak melanjutkannya. Hak kita ini sudah diatur dalam etika psikolog. Terlebih ini adalah hak yang tak perlu memakai etika psikolog karena mereka belum menjadi psikolog itu sendiri.

Jadi jangan segan-segan menolak dan keluar dari sesi itu. Lagian tak ada manfaatnya untuk kita bukan? Posisi kita sebagai seorang objek penelitian sangat krusial bagi banyak mahasiswa psikologi. Sekali kita menolak dan memutuskan kelanjutan penelitian. Maka, merekalah yang akan bingung dan menderita.

PSIKOLOGI & PSIKOTERAPI 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang