Bagi seseorang yang pernah mempelajari sastra, menjadi aktivis, atau yang pernah tertarik dengan kajian feminisme. Pastilah sangat tak asing dengan istilah LGBT dan segala macam permasalahannya. Walaupun begitu, konsep, teori, dan kisah hidup para LGBT belum begitu banyak diterima di negara ini. Alasan terbesarnya karena jijik, takut ikut menjadi bagian dari LGBT atau karena praktek agama melarangnya.
Hanya saja, mau bagaimana pun, mereka yang ada tergolong LGBT tetap saja manusia. Kalau aku sendiri, bagaimana pandanganku mengenai LGBT?
Asal tak mengganggu. Itu urusan hidup mereka. Hanya saja, aku tak terlalu menyukai homo atau gay yang tak bisa menahan orientasi seksualnya. Bukan dalam artian pertemanan atau yang lainnya. Asalkan kaum gay tidak macam-macam denganku, itu tak masalah. Begitu juga dengan para lesbian, atau steprotip buruk yang tak seharusnya didapat, yaitu banci, dan juga biseksual, transgender, atau tanpa orientasi seks atau bahkan manusia tanpa jenis kelamin.
Beberapa temanku yang dulu adalah perempuan normal, sebagian berubah orientasi seksualnya menjadi menyukai perempuan. Alasannya sederhana, patah hati dengan laki-laki, tak lagi punya kepercayaan diri menjalin kembali hubungan dengan laki-laki, atau takut dengan laki-laki. Sebagiannya, teman dari teman, kemungkinan besar malah biseksual.
Transgender sendiri diakui di Indonesia seringkali sebagai bahan lelucon, atau masuk dalam dunia hiburan sebagai para banci yang bisa ditertawai, digoda, dan lain sebagainya. Bukan sebagai individu hidup yang berpikir dan juga kenapa mereka seperti itu. Ironis. Mereka yang dianggap keperempuan-perempuanan, dipandang hanya sisi itu lalu dieksploitasi. Pembicaraan mengenai LGBT sscara jauh dan dalam, tentunya, banyak orang menolaknya karena alasan agama dan ketakutan dalam benaknya.
Luar biasa banyak orang dengan santai menerima para artis dan tokoh komedian yang berperan agak "bencong" atau "banci" dan terhibur dengan polah tingkah mereka yang lucu dan menggemaskan tapi coba suruh mereka berbicara secara serius dalam lingkup intelektual? Banyak yang akan menolak. Itulah namanya ekploitasi posisi peran gender dan orientasi seksual dalam dunia seksual. Tak jauh beda dengan dunia sehari-hari di sekitar kita.
Jika LGBT dilarang Tuhan. Kenapa pula Tuhan menciptakan dan memelihara mereka ada? Tidakkah itu aneh? Diciptakan lalu dibenci? Kebijakan macam apa itu? Itulah lelucon besar jika kita membicarakan LGBT dengan agama. Sebagian dari mereka juga tak menginginkannya. Jika ditolak di masyarakat, mati bunuh diri juga dianggap dosa besar. Ribet bukan?
Hidup sebagai lesbian dianggap dosa. Mati dengan tangan sendiri juga dosa. Lalu maunya apa? Terlebih bagi mereka yang sejak kecil memang memiliki kelainan dan ketidakseimbangan hormon atau terlahir memang semacam itu. Dihina karena seperti banci. Padahal dalam hati juga tak ingin seperti itu. Tapi mau bagaimana lagi? Jika dia dihina dan diolok-olok karena tubuhnya yang gemulai dan elok padahal dia laki-laki. Salahkan saja Tuhan dan orangtuanya. Dari pada ribet diperdebatkan dan mencemooh. Membantu saja juga tidak. Ingin tahu duduk masalahnya juga tidak.
Lalu apa salahnya mengganti kelamin? Jika koruptor dibiarkan saja tapi para transgender dianggap hina, pola pikir macam apa ini?
Selain alasan agama dan moral. Ketakutan yang besar adalah menjadi bagian dari mereka karena perjalanan hidup. Semua orang punya bibit besar untuk masuk menjadi bagian dari LGBT. Mungkin inilah yang membuat orang tak menyukai LGBT dan tentunya, tak ingin kucilkan.
Seorang laki-laki normal bisa menjadi gay. Begitu juga perempuan normal begitu sangat mudah menjadi lesbian. Sebagian lainnya, bisa menjadi biseksual seiring perjalanan waktu. Sedangkan yang lain, lebih memilih mengganti peran gendernya karena alasan tertentu. Potensi untuk masuk menjadi bagian dari orang yang tergolong LGBT inilah yang paling ditakutkan banyak orang. Karena LGBT dikucilkan dan dilarang. Memiliki kemungkinan orientasi semacam itu menjadi ketakutan tersendiri yang begitu besar.
Begitu mudahnya kini orang-orang normal berpindah orientasi gender dan seksual, membuat banyak orang membentengi diri sendiri. Salah satunya, dengan menolak keberadaan LGBT. Dengan begitu mereka bisa dengan mudah menolak keberadaan diri sendiri. Karena, keberadaan LGBT yang besar dan diakui, akan membuat seseorang lama-kelamaan terbiasa dan juga bisa tercetus orientasi seksual yang berbeda.
Pengakuan atas LGBT akan membuat orang-orang normal terpapar dengan keberadaan LGBT itu sendiri. Yang nantinya, yang tak kuat, akan ikut menjadi bagiannya.
Bagaimana tidak? Lihatlah, sekarang banyak laki-laki berdandan layaknya perempuan, bermake-up, dan makin cantik saja. Terlebih saat era korea mendominasi. Terpapar dengan laki-laki cantik setiap hari, mulai di internet, televisi, dan dunia nyata, membuat seseorang akan bingung mengenai makna dari kata kecantikan itu sendiri. Jika laki-laku cantik ternyata tak kalah cantiknya dengan para perempuan, juga tak kalah seksinya. Lalu untuk apa perempuan itu sendiri pada akhirnya? Salah satu alasannya seperti ini. Pudarnya konsep kecantikan akan menjadi kebingungan besar dalam mengagumi, mencintai, menyukai, dan berahi kepada seseorang.
Hiduplah di tengah-tengah ribuan laki-laki cantik setiap hari. Maka, mungkin tak ada setahun, kamu akan memiliki bibit ketertarikan akan seorang transgender. Atau hiduplah di antara para perempuan yang hampir mirip laki-laki, orientasi seksualmu lama-kelamaan mungkin akan berubah. Terlebih jika ada salah satu dari orang itu membuatmu nyaman dan bahagia.
Kenapa batasan akan orientasi gender dan seksual sangat dibutuhkan oleh orang-orang terdahulu? Mungkin, agar memudahkan orang untuk mengotakkan apa yang harus disukai dan dicintai. Dengan ada batasan yang ketat akan orientasi seksual yang diperbolehkan. Maka seseorang sejak kecil dididik bahwa harus seperti ini dan itu. Cantik itu milik perempuan. Tampan itu milik laki-laki. Seksi itu kepunyaan perempuan. Gagah itu kepunyaan laki-laki. Sehingga seseorang bisa menikah dengan lawan jenis selalu. Jugs tidak bingung mengenai soal kecantikan dan yang lainnya. Karena semua ada pada tempatnya.
Tapi hari ini? Dunia di mana orientasi seksual tak jelas berarti kamu akan mudah terpapar untuk suka dan mencintai siapa saja. Dulu kamu akan berahi dengan laki-laki tampan dan gagah. Tapi kini, banyak perempuan yang lebih terkesan tampan, gagah, dan bahkan lebih bertanggung jawab dari pada laki-laki normal. Saat para laki-laki menyakiti perasaan lalu datang seorang perempuan yang sangat melindungi. Kemungkinan suka akan bisa saja timbul. Ini juga berlaku dengan segala jenis orientasi seksual. Saat semuanya menjadi cair, maka semua orang berpotensi menjadi biseksual atau berpindah orientasi seksualnya.
Tidakkah orang yang dididik agama ketat akan ketakutan dengan kenyataan semacam ini? Terlebih saat dia tahu, dia berpotensi menyukai sesama jenisnya sendiri yang ada di sekolah, kampus, atau tempat kerja. Karena alasan yang berbeda-beda. Ada yang karena trauma, patah hati, kegagalan rumah tangga dan lain sebagainya.
Terlebih, saat seumur hidup nyaris berada di asrama sesama jenis. Dilarng berdekatan dengan sesama jenis. Tidakkah orientasi seksual bisa berubah tanpa keluarga dan lingkungan tahu?
Bahkan yang tidak beragama pun takut akan hal itu karena pemerintah, masyarakat, dan sistem moral menolak dan menghukum keras keadaan semacam itu.
Sekarang, orientasi seksual dan bagaimana orang berpenampilan semakin tak jelas merujuk ke mana. Kelak, karena ketidakjelasan ini, akan semakin banyak lahir generasi baru. Yaitu generasi tanpa orientasi seksual dan gender. Ya siapa tahu.
Selain tak suka dengan manusia jenis apa pun. Kemungkinan mereka juga tak punya kemaluan. Baik milik laki-laki atau perempuan. Terlebih, jika melahirkan tinggal mencetaknya lewat kloning dan bayi tabung. Kebutuhan akan kelamin semakin hari akan punah. Apa lagi, kamu bisa orgasme sendiri tanpa bantuan orang lain. Bahkan bisa orgasme di dunia virtual reality. Maka, pasangan nyata tak dibutuhkan. Dan fungsi kelamin, mungkin kelak hanya akan menjadi sejarah masa lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
PSIKOLOGI & PSIKOTERAPI 2
Non-Fictionpsikologi & psikoterapi buku kedua. karena buku pertama sudah penuh. maka perlu membuat buku selanjutnya. menceritakan psikologi dan psikoterapi dan apa yang harus dilakukan dalam keseharian yang penuh beban, dan apa yang memberati perasaan dan pik...