Apakah menjadi ateis itu selalu buruk? Tidak. Sebagian orang malah merasa hidup lebih nyaman dan enak dari pada sebelumnya. Terlebih jika ateisme hanya dipilih sebagai jalan pragmatis atau ketidakpedulian. Maka, menjadi ateis jauh lebih menyenangkan. Kamu tak perlu lagi takut dosa dan bebas dari cengkraman agama, yang membuat banyak nilai yang menakutkan. Secara psikologis, menjadi ateis berarti melepaskan beban berat yang ada di punggung kita dan berjalan lebih enteng tanpa harus menengok ke segala yang diperintahkan oleh suatu keberadaan yang tak menemani kita sama sekali. Terlebih keberadaan yang tak ada di sisi kita tapi selalu mengancam dan menakut-nakuti.
Ini tak jauh beda dengan banyak umat kristiani yang sibuk ke gereja tapi nyaris tak tahu apa-apa dengan agamanya dan masa bodoh dengan segala macam yang agamanya miliki, larang dan perintahkan. Asal cukup menjadi umat Kristiani, maka hidup bisa tenang dan berkhayal akan diri sendiri. Juga para Muslim dan agama-agama lainnya, yang setiap hari sering melakukan hal yang sama.
Jadi dalam dunia keseharian, ateis dan mereka yang beragama, nyaris susah dibedakan. Terlebih jika ateisme dan teisme didasari atas alasan pragmatisme, oportunisme, dan masa bodoh. Maka, para pengangut agama adalah para ateis terselubung. Atau semacam parasit di dalam agama itu sendiri.
Hanya sekedar meyakini Tuhan itu, para ateis pun bisa melakukannya. Bahkan meyakini bahkan kambing itu Tuhan, sepatu di luar angkasa itu Tuhan, atau malah bisa jadi upil di galaksi luar sana itu adalah Tuhan. Keyakinan itu mudah. Karena begitu mudahnya, para ateis bisa bermain-main akan kepercayaan jenis apa pun karena pada dasarnya kepercayaan hanyalah semacam ketidakyakinan yang terdalam itu sendiri.
Seseorang yang beragama yakin akan adanya keberadaan Tuhan tapi dunia kesehariannya jauh lebih buruk dari pada para ateis yang sehat dan bermartabat, bebas, lebih intelektual, berpikiran terbuka, dan bersahabat. Itulah alasannya kenapa beragama itu mudah dan menganut keyakinan tertentu itu jauh lebih mudah. Karena mereka yang tidak percaya Tuhan dan yang mempercayai Tuhan, mendengarkan lagu yang sama, menonton bioskop yang sama, memakai berbagai jenis perangkat elektronik yang sama, dan berpendidikan dengan jalur yang sama. Bahkan memiliki nafsu dan kesedihan yang sama, hanya berbeda kualitas dan bentuk.
Selain menjadi ateis bisa membuat orang sehat dan terbebaskan. Banyak juga para ateis yang memiliki kondisi buruk dan temperamen yang sangat tak baik. Begitu juga dengan kebanyakan orang beragama. Jadi apakah ateisme dan teisme pada dasarnya membuat seseorang menjadi baik? Apakah kita bisa menilai bahwa seseorang itu bersifat baik karena nilai ateisme yang ia pegang atau nilai agama yang ia pegang?
Sejujurnya, seseorang menjadi baik kepada orang lain lebih pada keuntungan timbal balik. Atau harapan akan imbalan tertentu yang lingkupnya selalu terbatas. Entah seseorang itu ateis atau beragama. Dalam dunia keseharian, nilai humanisme tak lebih dari candaan para ateis dunia. Dan firman Tuhan hanyalah keharusan yang nyaris tak didengarkan sama sekali. Jadi apa bedanya ateisme dan teisme dalam dunia keseharian manusia?
Kesamaannya, banyak dari mereka sama-sama berdelusi. Yang satu tentang kebebasan diri dan kemanusiaan. Yang satunya lagi tentang Tuhan dan segala atribut miliknya. Dalam kenyataan sehari-hari, semua orang, dengan keyakinan apa pun adalah para pragmatis tulen, oportunis sejati, dan maniak masa bodoh.
Sebagian besar ateis menyadari hal itu. Terlebih para ateis bertipe pemikir yang terdiri dari para filsuf, ilmuwan, seniman dan lainnya. Kehidupan para ateis bisa menjadi luar biasa menyenangkan asal menganut sikap pragmatisme hidup. Membuang apa yang tak perlu. Mencari dan mempertahankan apa yang berguna dan menyenangkan dalam kehidupan. Jika ateis lebih menuju pendalaman filosofis, banyak dari mereka yang harus memeras otak dan mengalami periode sulit eksistensial. Itulah sebabnya, para ateis dan orang beragama pun, kebanyakan tak ingin berpikir semacam itu. Menjadi pragmatis itu lebih menyenangkan. Tidak berpikir banyak itu lebih bahagia.
KAMU SEDANG MEMBACA
PSIKOLOGI & PSIKOTERAPI 2
Non-Fictionpsikologi & psikoterapi buku kedua. karena buku pertama sudah penuh. maka perlu membuat buku selanjutnya. menceritakan psikologi dan psikoterapi dan apa yang harus dilakukan dalam keseharian yang penuh beban, dan apa yang memberati perasaan dan pik...