Internet membuat abad kebodohan kian bertambah dan terdeteksi dengan mudahnya. Dari mulai banyaknya orang luar negeri yang tiba-tiba menjadi bodoh dan tak memiliki empati dalam komentar-komentar mereka. Sampai perdebatan panas yang isinya hanya caci maki saja. Yang entah kenapa, hari ini menjadi kian populer.
Dalam dunia di mana internet terbuka lebar dan banyak orang bersama-sama bermain di sosial media yang sama. Saling mengomentari adalah hal yang wajar. Keinginan untuk saling bertukar sapa dan ilmu pengetahuan adalah gairah terpendam yang dahulu kala sering terkendala.
Namun, kehadiran internet dan sosial media, malah membuat banyak orang secara sadar melakukan pembullyan, menjelekkan orang lain, dan merasa benar sendiri. Mendapatkan diskusi dan perdebatan yang bagus dan dewasa, dalam komentar semacam YouTube, Facebook, portal berita, Instagram, dan yang lainnya, menjadi kian sulit. Bahkan, Playstore pun semakin dijejali dengan banyaknya komentar negatif yang menghujat, berkomentar kotor, dan berisi cemooh tanpa perasaan.
Ketidakpuasan langsung ditunjukkan dalam bentuk komentar, yang seenak hati, kejam, dan terkesan diktator.
Dalam dunia internet, kita melihat salinan dunia nyata yang terbungkam dan akhirnya meledak di sana. Psikologi keseharian manusia sekarang kian bergerak ke dunia maya. Dari cara berpikir, merasa, dan memperlakukan orang lain.
Dunia maya adalah bagian dari dunia nyata yang disembunyikan, atau kepribadian yang tak diungkapkan ke dunianya sehari-hari. Dunia nyata. Bukan dunia layar.
Itulah sebabnya, mentalitas yang tersembunyi, yang di dunia nyata terlihat penakut, baik, pendiam, kalem, dan orang yang ceria. Ternyata menyimpan kejutan yang tak disangka. Bahwa, sisi lain dari diri yang ditekan, akhirnya keluar dalam bentuk komentar jahat, kejam, sadis, tak berperasaan, membully, anti empati, dan secara langsung menghina dengan sangat mudahnya.
Dalam dunia internet, maka sisi tak berperasaan, seenaknya, tak bertanggungjawab, rasis, penakut, barbar, dan banyak nilai yang dianggap negatif. Bermunculan dengan subur mewakili psikologisme seseorang tersebut.
Bisa di dalam tulisan, dalam bentuk video, dan yang paling banyak, karena begitu mudah dan tak banyak berpikir adalah dalam bentuk komentar-komentar yang ada di banyak media berbasis internet.
Komentar dalam internet mewakili sisi lain dari seseorang yang mengetik kalimat demi kalimat itu. Itu adalah cara termudah untuk melihat bagian dari psikologi harian seseorang. Hanya dengan isi komentar, kamu bisa sedikit melihat isi mental seseorang secara cepat.
Lalu apa jadinya, jika banyak orang, menulis komentar yang saling mencemooh, menghina, merasa benar dan pintar sendiri? Jika sebuah negara memiliki masyarakat semacam itu, yang akhirnya kian umum. Maka, negara itu akan mengalami masalah berat saat krisis besar mendadak terjadi.
Dalam lingkup kecil saja, keluarga, kesepakatan bersama sulit muncul. Dalam lingkup gang, kompleks, kos, apartemen, sekolah, ketidakmampuan untuk saling mengerti sudah sangat umum.
Jika itu diperluas menjadi kota dan antar negara. Maka kita bisa dengan mudah melihat mengapa banyak masalah di dunia ini lambat sekali teratasi. Karena dalam lingkup kecil saja, keinginan untuk menolong dan mendekatkan jarak emosi (simpati dan empati) sudah banyak tak berlaku.
Tanpa harus dianjurkan untuk melakukan Social Distancing, atau menjaga jarak, di dunia nyata kita sudah saling menjaga jarak. Bahkan di sosial media pun kita terlampau sering menjaga jarak terhadap banyak orang. Di dunia nyata, menjaga jarak sudah kita lakukan sehari-hari dalam skala yang sangat luas dan luar biasa.
Menjaga jarak pada akhirnya menjadi sisi lain dari anti empati. Toleransi semu yang tak saling peduli asal tidak menyakiti. Atau bisa dibilang, masa bodoh.
Dalam iklim keseharian semacam itu, jangan heran jika masyarakat perindividu dengan mudahnya menghujat orang lain. Menghina dan mengutuk menjadi hal yang lumrah karena tak merasa dekat dan berkepentingan dengan seseorang yang dihina. Menyakiti, bertindak kejam, dan memutarbalikkan fakta bukan lagi hal yang harus dipikirkan lebih dulu. Tapi sudah menjadi kebiasaan bersama.
Saat semua orang nyaris menjaga jarak dan tak banyak lagi memiliki ikatan emosional yang dekat. Saling menghina dalam komentar adalah bagian dari psikologi individu dan bersama sebuah masyarakat.
Krisis psikologi yang kita lihat sehari-hari dalam kenyataan.
Dampak dari hal-hal semacam itu adalah, ketidakmampuan mengambil solusi bersama dan cepat. Kegagalan bertindak efektif, efisien, dan tegas. Keadaan serius yang dianggap sepele. Sedikit orang yang bergerak karena semua merasa benar sendiri. Ketidakmauan membantu orang lain karena jejak empati dalam diri, sudah dalam bentuk krisis terakhirnya.
Saat sebuah kebijakan diperlakukan, yang dilakukan masyarakat adalah saling menyalahkan. Apa pun yang dilakukan orang lain, baik itu pemerintah sampai perorangan, asal itu bukan dirinya atau orang yang dicintai, akan menjadi hampir serba salah.
Jika ratusan juta manusia bertindak semacam itu, krisis besar tak akan dengan mudah diselesaikan. Saat ekonomi runtuh, yang terjadi adalah keegoisan individu dan kelompok yang meledak. Dengan alasan bertahan hidup atau alasan-alasan semu lainnya.
Saat krisis besar kian bertambah buruk dan tak bisa ditangani. Maka, yang dilakukan seseorang adalah mencari kambing hitam. Menyalahkan orang lain. Menyalahkan negara lain. Menyalahkan negara dan pemerintah sendiri. Menyalahkan orang dari negara lain. Atau malah menyalahkan sesama orang di negara sendiri.
Kesadaran untuk mengakui diri sendiri nyaris tak ada. Karena orang semacam itu hampir tak pernah merasa bersalah dan melakukan keburukan sama sekali. Orang lainlah yang harus disalahkan dan telah melakukan hal buruk sehingga krisis terjadi. Sedangkan dirinya? Dirinya kebal terhadap kritik dan sosok yang jelas tak merasa menjadi bagian yang membuat krisis itu sendiri.
Bayangkan, jika jumlah orang semacam itu jumlahnya ratusan juta jiwa? Atau miliaran jiwa?
Setiap hari mengamati isi komentar dunia maya, sudah cukup membuatku pusing dan bahkan lama kelamaan mengarah kegilaan. Bagaimana tidak?
Orang-orang modern, berpendidikan, dan berkecukupan, ternyata menjadi mayoritas yang memiliki pola pikir dan perasaan semacam itu. Ditambah lagi orang-orang pedesaan, daerah, dan kampung yang mengenyam sekolah atau tidak. Jika orang berpendidikan dan tidak berpendidikan telah menjadi satu dalam kebodohan dan sikap saling menghina. Tinggal menunggu waktu ledakan sosial dan politik terjadi. Begitu juga horor manusia yang menyertainya.
Membaca komentar-komentar yang buruk, saling merendahkan, dan merasa paling benar sendiri. Sudah cukup membuat seseorang depresi. Dan Indonesia, memiliki jumlah komentator buruk yang begitu banyak, kian menjadi umum dan wajar.
Ya, kian menjadi wajar.
Dan semua komentar buruk itu, jika tiap hari kamu cerna, perlahan akan membuatmu cemas dan takut akan masa depan. Bahkan bisa membuatmu gila dan hancur. Dan jika seandainya seluruh komentar buruk diarahkan kepadamu dari sekian juta manusia yang merasa diri mereka baik. Jika kamu tidak kuat, mungkin kamu akan lebih memilih bunuh diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
PSIKOLOGI & PSIKOTERAPI 2
Non-Fictionpsikologi & psikoterapi buku kedua. karena buku pertama sudah penuh. maka perlu membuat buku selanjutnya. menceritakan psikologi dan psikoterapi dan apa yang harus dilakukan dalam keseharian yang penuh beban, dan apa yang memberati perasaan dan pik...