TERAPI PUISI

377 17 25
                                    

Bangun terlalu awal, dunia entah kenapa terasa lebih lembut dan cabikan dingin yang biasanya, menjadi sedikit terlelap. Rasanya, aku ingin menikmati suasa ini dengan membuat puisi.

Sebagai bentuk menyenangkan diri sendiri, juga sebagai sebuah terapi.

Fajar menunggu,
selayaknya mungil yang memantul
Pada kerapatan warna di ujung timur

Menenangkan permukaan air
Saat sebuah jembatan menarik dirinya sendiri
Pada dingin yang memanjang
Setapak kaki manusia di masa lalu

Rasanya, menbuat puisi seketika dan waktu ini juga, sedikit bisa menenangkan diri dan menghibur. Terlebih puisi-puisi lirik yang lembut. Seolah bagaikan sisi lain dari seniman impresionisme di dalam kata-kata.

Jemari dan sepasang mata
Diri yang memeluk akan

Di jurang dalam
segala yang lalu

Membuat puisi seperti ini, sejak dulu aku sangat menyukainya. Aku bisa membuatnya di mana pun. Seolah-olah, jika aku membuat puisi, aku menjadi pribadi yang begitu lembut dan kalem. Dulu, banyak orang menganggapku sebagai penyair. Tapi aku menolaknya. Aku tak pernah bisa menulis puisi dengan baik. Atau lebih tepatnya, puisi hanya bagian dari diriku sendiri. Walau begitu, kadang aku berpikir, seandainya aku menjadi penyair, dari pada filsuf-psikolog, mungkin aku akan lebih menarik dan menyenangkan di mata banyak orang.

Lihatlah, warna yang aku tenun untukmu
Seperti bilah api di kejauhan lanskap

Meretak merah di kala angin membaur

Mungkin, keheningan ini menjelma butir pasir
Agar berdesir menuju entah

Jalanan yang terlindungi oleh perasaan,
mengiris mataku begitu dalam

Tahukah kamu,
bahwa waktu yang aku sembunyikan padamu
adalah kenangan yang enggan mengurai udara

Terlalu tipis,
untuk hati yang berhenti menelan

Hidup

Hmm, ternyata, tak terlalu buruk. Aku masih bisa membuat puisi yang hanya sekedar puisi untuk diri sendiri. Mungkin aku akan mencobanya lagi.

Suaramu, gelap
Memancar pada sekeliling

Tembok yang mendengkur
Upacara pagi serangga dan burung

Mengembangkan senyum
Kadang ringkih
Namun mengendapkan cerita

Di luar sana
Saat kamar berbisik telinga
Angin berjalan menyusuri kini
Merasakan getar halus kekosongan

Kerimbunan hampa dan secuil pelarian
dari manusia-manusia yang terlelap

pada kesedihan yang
tak terjamah oleh pagi,

Dan sepercik embun

Apakah aku masih bisa membuat puisi? Entahlah. Yang jelas, aku sedikit menikmatinya pagi ini.

Apakah kamu masih mengingatku?
Sepasang hati. Waktu. Dan kini hening.

Dan sekali lagi...

Jalanan kota di luar sana
Seorang mencari dirinya yang kecil
Mengangguk pelan dan lirih
Memantapkan pijakan kaki dan bilah bambu

Serasa luas tanah menukik ke leher
Jantungnya merayap pada

Lampu-lampu berpendar memunggungi bebatu
Atap-atap yang cemerlang sejenak
Awan mungil di kejauhan tangan dan jemari

Berjalan perlahan, mendalami ingin
Dari retakan pandang dan
sebilah kaca yang menghunus wajah

Bergumam desir
Mendongak pada langit yang tak berhari

Lalu kembali berjalan
Mendendangkan ruang
dan nafas yang berjeda sejenak

Apakah aku sudah seperti penyair? Ah, aku tak pernah ingin disebut sebagai penyair. Karena puisi bagiku adalah terapi. Untuk melembutkan sisi lain dari diri yang terlalu keras kepala dan mudah terbawa kekerasan kata.

Mungkin, kamu juga harus membuat puisi. Untuk melembutkan dirimu sendiri. Untuk menenangkan hati dan menghibur masa kinimu.

Masihkah puisi memenuhiku?
Kadang. Dan tak selalu.

Hanya saja, suaranya yang pelan
seringkali membuatku terjaga

Dalam riang kata-kata
Dari kalimat yang
terlalu menyakitkan untuk diucap

Catatan: puisinya dan juga tulisan ini langsung dibuat seketika pagi ini secara spontan

PSIKOLOGI & PSIKOTERAPI 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang