Menghitung orang bodoh di dunia ini, mungkin bisa membuat seseorang sakit kepala. Sedangkan menghitung orang bodoh di Indonesia, bisa terserang penyakit marah-marah. Hanya sekedar menengok Jakarta, kita sudah tahu, terlalu banyak orang tolol di sana. Nyaris setiap hari. Tidak hanya di saat pemilu. Itulah sebabnya masyarakat Jakarta adalah salah satu masyarakat menyedihkan di dunia. Banyak orang berdasi, berjas, dan berpendidikan tinggi. Tapi setelah itu, sekedar mati.
Bahkan seandainya seluruh Jakarta musnah beserta orang-orangnya. Hanya sedikit orang yang bisa diingat. Karena puluhan juta orang di dalam hanya sekedar orang. Keberadaan sekali habis di masa hidup.
Mungkin itulah sebabnya, aku tak lagi peduli dengan urusan politik di sana. Terlebih saat Jogja sendiri, yang diisi oleh banyak tokoh besar, juga terasa sangat membosankan.
Melihat terlalu banyak orang bodoh, itu mengerikan. Itulah sebabnya para aktivis kini juga tak lebih dari para budak.
Setiap orang kaya hanyalah budak. Begitu presiden tak lebih dari pada budak rakyat. Hanya saja, melihat orang kaya berpendidikan yang terlalu bodoh itu jauh lebih mengerikan.
Siapa pun yang tak bisa melihat inti dari kehidupan. Tak lebih dari orang tolol belaka. Sama sepertiku. Hanya sekedar berputar-putar di kehidupan seharian setiap harinya.
Saat aku mengatakan diriku sendiri sebagai tolol yang tak bisa menyelesaikan apa pun. Ternyata masih ada miliaran orang tolol di dunia ini. Setelah kaya, cantik dan tampan. Lalu mati.
Tidakkah itu hidup yang begitu tolol? Tapi anehnya dipertahankan.
Manusia tak lebih hanyalah sampah. Kuburan tak lebih dari pembuangan akhir sampah yang tak terpakai dan tak terdaur ulang. Siapa pun yang sudah tak berguna dan tak penting. Hanya akan dibuang di pembuangan akhir manusia itu. Setelah itu, tak ada yang tahu, orang itu pernah hidup atau tidak.
Itulah sebabnya, aku nyaris tak bisa lagi kagum dengan siapa pun lagi. Kecuali seseorang yang bisa melihat inti kehidupan dan mengakhirinya.
Karena, mau seseorang itu kaya, cerdas, pintar, tampan, cantik, berstatus tinggi. Nyaris kesehariannya tak lebih dari budak dan seluruh kekayaannya tak bisa membuatnya menghasilkan sesuatu. Entah kenapa, bagiku orang semacam itu terlalu biasa dan sangat tak penting bagi sejarah. Kecuali hanya bagian dari skrup ekonomi dalam perbudakan kerja yang statusnya sekedar berbeda-beda.
Yang satu budak yang berstatus direktur. Satunya budak berstus menteri. Satunya budak berstatus model. Satunya budak berstatus pengusaha. Semua pendidikan yang diambil hanya sekedar untuk memperbudak diri sendiri. Demi kekayaan dan kenyamanan tentunya. Itulah sebabnya, saat perang terjadi, wabah, bencana alam, atau kerusuhan politik membuat luar biasa banyak orang kehilangan nyawanya. Tak ada yang perlu diingat. Karena mayoritas orang yang mati itu pun tak ada dari beberapa hari sudah terlupakan. Seandainya aku pengamat dan pencatat riwayat hidup. Aku nyaris tak akan mencatat siapa pun. Karena nyaris tak ada yang layak.
Orang pintar berpendidikan tinggi yang rela memperbudak diri sendiri nyaris seumur hidup, tidakkah itu layak disebut orang bodoh? Dan jumlah orang semacam itu nyaris tak terhitung. Kebanyakan dari mereka itu kini telah menjadi orangtua yang dibanggakan anak-anaknya dan kekayaannya dipamerkan ke sana kemari. Ah, tak apa, lagian, aku nyaris tak melihat satu orang pun yang layak aku catat di negara ini.
Aku bagian dari orang bodoh itu. Menyebalkan memang. Orang bodoh berada di kerumunan orang bodoh itu disebut kehidupan. Manusia sendiri hanyalah sekedar budak bagi kehidupan itu sendiri.
Dan hanya orang bodohlah yang masih mempertahankan kehidupannya. Salah satunya adalah aku. Dan psikologi adalah ilmu untuk melanjutkan perbudakan diri. Betapa bodohnya pada akhirnya!
Ah, melihat orang bodoh yang membludak di negara ini, rasanya ingin tidur saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
PSIKOLOGI & PSIKOTERAPI 2
Non-Fictionpsikologi & psikoterapi buku kedua. karena buku pertama sudah penuh. maka perlu membuat buku selanjutnya. menceritakan psikologi dan psikoterapi dan apa yang harus dilakukan dalam keseharian yang penuh beban, dan apa yang memberati perasaan dan pik...