KEBOSANAN INTELEKTUAL: SELALU, DI ANTARA KERUMUNAN

283 9 5
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku menatap sekeliling

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Aku menatap sekeliling. Seperti sebatang waktu yang berhenti mengalir dan diam dalam keterpaksaan yang sama. Aku menatap bukuku, Vermeer, setelah sejenak menggarisbawahi kalimat demi kalimat dari buku David Wallace-Wells, Dunia Yang Tak Dapat Dihuni.

Dalam acara Kelola Art Fest ini, sama halnya saat aku berada di pembukaan pameran seni di Tirtodipuran Link. Aku bagaikan berada di kerumunan waktu yang mati. Nyaris tak tahu harus melakukan apa. Dalam persinggungan yang mengulang dirinya terus menerus. Bagaikan cacing ruang yang tak mampu menerobos waktu di depan sana.

Orang-orang di depan mataku, akhirnya hanya sekedar orang-orang. Anak-anak muda yang berdandan indah, elegan, dan sangat mewakili akan gaya. Pada akhirnya, menjadi keberadaan sambil lalu.

Musik yang mengalun hanya menjadi sekedar musik yang mengalun.

Aku menatap kembali bukuku, Vermeer. Menatapnya agak lama. Dua pasang mata perempuan yang terasa menatap diriku balik. Lalu ada kerumunan. Selalu kerumunan. Dan buku-buku milikku: perlahan menjadi usang.

Generasiku telah berlalu. Beserta kedangkalan seni yang dipajang dan dipamerkan tiada henti. Bagi filsuf macam diriku, aku bagaikan melihat kengerian ulangan yang dipajang terus menerus di depan mataku. Tanpa suara. Tanpa pikiran. Tanpa ada mulut yang terbuka. Yang tersisa hanya ruang, dan benda-benda yang dipaksa menjadi seni dan para seniman yang asing antara satu dan lainnya.

Aku memandangi lagi kerumunan orang-orang. Anak-anak muda yang sangat kebercukupan dan bertubuh mahal. Mengambil buku milik David Wallace-Wells. Membukanya. Membolak-balikkannya. Lalu menemukan kalimat yang aku garis bawahi, "Untuk mereka yang berharap mengerti lebih baik dan lebih tepat bagaimana badai dahsyat timbul dari samudra damai, perdebatan itu ada gunanya, tapi untuk keperluan praktis, perdebatannya tak menghasilkan makna atau wawasan nyata."

Masalahnya di sini, yang aku dapati adalah kelambanan ide dan tindakan. Atau bahkan, sebuah dunia yang terlalu membosankan untuk terlalu sering di pikirkan.

Di dalam masyarakat cafe, yang mana seni juga menjadi bagian darinya. Aku melihat sampah plastik hanya sebagai dekorasi. Tak lebih. Apa yang ingin disuarakan oleh Kelola Art Fest, berakhir sebagai hiburan dan hal yang tak penting. Nyaris, selalu, seperti itu. Di Art Jog. Di Biennale. Di kerumunan anak-anak yang tertawa tapi diam dalam kepalanya.

PSIKOLOGI & PSIKOTERAPI 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang