Banyak orang berbelanja. Memenuhi keranjangnya dengan berbagai macam makanan. Seolah, uang dibuang dengan begitu bebasnya tanpa beban dan itu dilakukan oleh hampir semua usia dari para remaja sampai orang tua.
Saat aku di pusat perbelanjaan, aku nyaris selalu melihat antrian yang memanjang. Yang paling aku amati adalah keranjang mereka. Nyaris selalu penuh. Jika aku berada di tengah-tengah rak makanan. Aku tidak hanya mengamati harga barang atau makanan. Tapi juga orang-orang yang ada di situ.
Banyak sekali anak kuliahan yang begitu mudahnya memasukkan cemilan yang harganya mahal ke keranjang mereka. Mengisi keranjangnya sampai penuh. Seolah uang bukan masalah besar bagi mereka. Juga di antara mereka banyak anak remaja yang melakukan hal yang sama. Terebih para orang tua berjenis kelamin perempuan. Keranjang mereka nyaris selalu penih sampai atas.
Indonesia semakin diisi dengan warga kelas menengah dan berkecukupan secara ekonomi. Melihat cara berbelanja mereka, kekurangan dan kemiskinan bukan lagi menjadi masalah. Yang menjadi masalah, banyak orang berpendidikan berbelanja di swalayan yang tengah aku amati dan masuki. Dan aku yakin, hampir semua mal dan swalayan hampir sama kondisinya seperti yang aku lihat. Hanya saja, konsumsi yang tinggi, pendidikan tinggi, kekayaan yang memadai, malah membuat negara ini semakin terbebani.
Di Indonesia banyak sekali orang berkecukupan dan mudah membuang uangnya di pusat perbelanjaan. Hanya saja, kenapa mengurus kasus Papua saja tidak becus? Terlalu banyak berbelanja. Tapi sedikit otak. Itu yang membuat aku tak percaya dengan generasi Milenial yang secara intelektual dan ilmu pengetahuan begitu sangat rendah.
Bagaimana generasi milenial yang berkecukupan dan kaya, menyelesaikan masalah Papua dan yang lainnya jika kerjaan mereka hanya berbelanja dan bersenang-senang? Saat generasi tua gagal. Generasi milenial akan menghancurkan Indonesia lebih jauh lagi.
Dari hari ke hari, aku melihat Indonesia dengan banyak cara. Mulai dari pemilu. Perkembangan intelektual. Kondisi jalan raya. Lingkungan. Hubungan sosial. Geliat ekonomi. Dunia perbukuan. Dunia intelektual. Kesenian. Dan banyak lainnya.
Tentunya, sedikit melihat pusat-pusat perbelanjaan. Itu sudah sedikit sampel kasar kondisi pola pikir dan psikologis sebagian warga Indonesia hari ini.
Aku kadang menggelengkan kepala saat begitu mudahnya anak-anak muda mengambil makanan dan berbagai macam benda dan membayar dikasir ratusan ribu. Apakah mereka juga mau melakukan hal yang serupa untuk ilmu pengetahuan, buku, dan kebijaksanaan?
Aku tak tahu.
Swalayan yang aku masuki begitu penuh. Luar biasa penuh. Untuk mengantri saja, harus begitu lama. Melihat banyak keranjang yang penuh atau para anak muda yang menggunakan kartu kredit. Rasanya, aneh, jika setiap hari banyak kasus bunuh diri, pembunuhan, krisis politik, dan konflik sosial yang tinggi.
Aku berada di pusat ekonomi yang semakin membesar. Orang-orang semakin kaya dan makmur. Mereka bisa membeli banyak hal dan apa saja yang mereka mau. Hanya saja, mereka lupa membeli isi kepala mereka. Mereka lupa membeli kesabaran. Dan lupa membeli saling pengertian.
Tak heran, jika saat melihat kasus kerusuhan Papua di Youtube. Para komentatornya terlihat saling memaki dan merendahkan.
Mereka berpendidikan tinggi dan makmur. Tapi lupa mengisi isi otak dan hatinya. Kekayaan tak membuat orang ingin saling mengerti. Kekayaan membuat orang menjadi lebih egois dan anti-empati.
Aku membayangkan, jika krisis ekonomi meledak di Indonesia. Orang-orang yang ada di sekitarku ini, yang begitu tenang dan tampak menikmati waktu berbelanjanya. Mungkin, akan menjadi beringas dan mengerikan untuk mempertahankan kenyamanan dan kelanjutan hidup mereka.
Di kota bernama Jogja. Banyak sekali orang berbelanja. Tapi geliat intelektual di sini begitu rendah. Tak heran, orang-orang radikal banyak datang dari orang-orang kaya yang bodoh dan berpikiran sempit.
Mengisi keranjang belanjaan sampai penuh itu mudah. Tapi mengisi kepala dan hati nurani itu sulit. Sedikir orang yang makmur secara ekonomi bisa melakukannya.
Pusat perbelanjaan adalah miniatur Indonesia hari ini. Ada uang. Orang merasa aman dan bahagia. Tidak ada uang. Semua orang akan saling membunuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
PSIKOLOGI & PSIKOTERAPI 2
Non-Fictionpsikologi & psikoterapi buku kedua. karena buku pertama sudah penuh. maka perlu membuat buku selanjutnya. menceritakan psikologi dan psikoterapi dan apa yang harus dilakukan dalam keseharian yang penuh beban, dan apa yang memberati perasaan dan pik...