MEMILIKI BUDAK ITU NIKMAT

297 12 0
                                    

Memiliki budak modern itu sungguh nikmat. Terlebih saat segalanya bisa dibeli dengan uang. Orang tua bangka sampai anak kecil ingusan pun bisa memiliki budak mereka masing-masing. Asal uang ada di tangan. Mereka yang membutuhkan uang akan datang bersusah payah untuk kita.

Budak pertama yang aku miliki adalah pemilik depot air minum. Hanya membayar tujuh ribu rupiah untuk satu galon dan empat ribu rupiah untuk dua galon. Pemilik depot itu harus rela panas-panasan agar bisa mengantarkan galon berisi air itu untukku.

Cukup duduk nyaman di kasur. Chat lewat WA. Budak datang dengan sendirinya membawa apa yang kita minta dan inginkan.

Kasusku masih agak ringan karena aku nyaris tak mengeluhkan pelayanan pengantar air minum itu. Hanya saja, setiap melihat wajahnya yang kecapean dan nyaris mirip orang yang bekerja terlalu keras. Aku berpikir, betapa melelahkannya hidup dan bekerja hanya untuk seribu sampai tiga ribu pergalon air minum. Setiap hari harus mengantarkan pesanan ke begitu banyaknya orang.

Aku masih kategori konsumen yang agak sadar. Walau itu tak bisa selalu. Soalnya, sangat sering, aku memperlakukan pengantar air minum itu layaknya budak. Benar-benar budak. Hanya saja budak baru di sistem ekonomi liberal dan terbuka.

Temanku, yang kadang ingin tampil baik dan berkemanusiaan, pun gagal jika sudah berurusan menjadi konsumen yang memiliki uang dan memegang kekuasaan. Saat pengantar galon air minum tak datang atau telat membalas, dia bisa mudah marah dan jengkel. Hanya bermodalkan tujuh ribu rupiah dia bisa memperlakukan orang lain semacam itu. Seolah-olah, jika uang ada di tangan, semua harus mengikutinya apa yang diinginkannya.

Pesan harus segera dibalas. Pesanan makanan atau minuman harus cepat sampai. Jangan ada yang salah. Jangan lambat. Jangan membentak atau mengeluh. Karena konsumen, yang kadang sering menggunakan gratisan dan promo, berhak menjadi sangat egois dan pemaksa.

Alasan utama selalu, aku memiliki uang. Aku pembeli. Kamu harus melayaniku. Inilah awal perbudakan modern di zaman aplikasi internet. Aku sendiri menikmatinya. Menjadi baik, bermoral dan kemanusiaan saat transaksi ekonomi itu sayangnya jarang terjadi. Dan sangat sulit. Bahkan orang kaya raya pun lebih suka gratisan, harga promo, atau masih menawar padahal dia tahu penjualnya adalah orang miskin atau pas-pasan.

Aku sendiri contoh nyata dari kegagalan untuk baik hampir setiap waktu. Saat lelah atau dalam kondisi tertentu, aku nyaris tak peduli dengan manusia lainnya. Mereka kadang tak lebih dari pada benda, pelayan, pesuruh, atau tepatnya budak.

Aku tak memikirkan hati mereka. Aku tak berpikir apa mereka punya perasaan atau tidak. Aku tak peduli dengan alasan mereka seandainya terlambat. Aku tak peduli apa itu macet. Apa itu sakit. Apa karena salah jalan. Aku juga tak peduli seandainya aplikasi mereka error. Aku juga tak peduli seandainya mereka datang dengan harga yang berbeda karena harga aplikasi belum diperbaharui. Semua kesalahan itu selalu hampir menuju ke penjual atau pengantar. Kurirlah yang selalu mengalami penghinaan tak bermoral dari para konsumen yang menikmati kemudahan bak raja. Karena aku sendiri juga sering melakukannya.

Jika seseorang seperti diriku tak menahan diri untuk melakukan semuanya sendiri. Aku bisa memiliki begitu banyaknya budak dalam sekali waktu. Uang yang aku punya adalah kekuasaan terhadap hidup orang lain. Uang dalam dunia internet dan aplikasi hari ini, menjadikan banyak orang lupa atau tak peduli dengan kemanusiaan mereka. Bagi orang yang tak terbiasa berpikir atau memang tak tahu sejarah pemikiran dan perbudakan. Mereka menganggap diri bahwa itu hanyalah transaksi keuangan atau ekonomi. Jadi harusnya wajar saja. Itu alasan yang bagus karena penyedia layanan memang harus profesional dan berkualitas. Hanya saja, keinginan untuk dilayani secara berkualitas berarti juga pemaksaan.

Saat para kurir kesakitan di jalan. Tak ada orang yang peduli karena alasan sudah membayar mahal. Semuanya harus sesuai dan berkualitas. Bahkan seandainya sang kurir mengalami tabrakan dan mati di jalan. Aku sendiri mungkin tak peduli. Yang aku pikirkan barangnya harus sampai di kamar tepat dengan yang dijanjikan oleh penyedia jasa layanan.

Menjadi baik, sabar, pengertian, dan mau memahami para kurir hampir setiap hari, siapa yang bisa melakukannya? Saat bus terlambat saja, kita bisa marah. Saat pesanan go-food salah, kita marah. Saat go-car lama, kita sudah ingin mengumpat. Saat pesawat tak sesuai jadwal, kita mengamuk. Tapi yang paling dekat dengan apa yang aku sebut sebagai budak, adalah para kurir yang harus datang (harus, karena kalau tidak akan dipecat) dalam jam dan waktu kapan pun dan dalam keadaan apa pun. Semua itu demi kerja dan melanjutkan hidup. Sedangkan para konsumennya cukup dengan menganggap diri memesan layanan mereka, mereka berpikir membantu ekonomi mereka.

Karena banyak konsumen berpikir semacam itu dan mereka yang butuh uang rela melakukan apa pun. Yang terjadi adalah suatu sistem yang berat sebelah. Mereka yang ada di atas adalah pembeli yang memiliki uang. Sangat berkuasa dan mampu berdalih telah membantu. Padahal hanya segelintir uang dan nyaris tak berarti bagi dirinya sendiri. Jika si kurir kaya raya, mungkin dia juga tak mau diperlakukan semacam itu. Kecuali kurir kaya yang bosan hidup dan ingin tahu macam sifat manusia. Mungkin akan senang melihat begitu banyaknya sifat manusia yang buruk saat mereka berposisi menjadi kurir.

Memiliki budak itu memang nikmat. Aku mengakuinya. Aku juga menikmati kemudahan mengatur, menyuruh orang, dan memaksa orang dengan hanya uang kecil yang tak seberapa.

Malas mencuci, tinggal pergi ke laundrian. Malas membeli air minum sendiri. Tinggal pesan. Malas makan, tinggal pesan. Semuanya tinggal memesan dan tiba-tiba kita memiliki pelayan yang banyak. Beda pembantu rumah tangga dan pesuruh aplikasi internet hanyalah tipis. Kurir aplikasi adalah pembantu yang dipekerjakan konsumen lewat perusahaan tertentu. Jadi, yang membayar bulanan adalah pihak perusahaan. Sedangkan kita hanya membayar saat itu juga atau dalam kondisi booking. Lalu kita bisa menyuruh kurir itu untuk ke sana dan kemari. Membeli ini dan itu. Tak ubahnya pembantu rumah tangga yang harus tunduk pada tuannya kalau masih ingin dipekerjakan dan mendapatkan gaji.

Karena antara pembantu rumah tangga (supir pribadi juga adalah pembantu rumah tangga yang kini berubah jadi ojek online) dan kurir online nyaris susah dibedakan. Maka, aku sendiri menikmati situasi itu. Mengakui lebih baik dari pada berpura-pura tak sadar diri atau menganggap bahwa aku tak berpikir semacam itu. Seandainya aku tak menganggap mereka budak pun. Cara berperilaku mereka dan bagaimana aku berperilaku, sudah cukup untuk menyetarakan perbudakan halus yang bagaikan saling menguntungkan.

Memiliki uang itu nikmat. Karena dengan begitu kita bisa membeli tenaga orang lain dengan begitu mudahnya. Saat ingin membangun rumah, budak pekerja bangunan siap sedia. Saat ingin membangun jalan, budak pembuat jalan juga tersedia. Saat ingin pembersih WC, budak di bidang ini juga ada. Ingin pengepel lantai, jumlahnya juga banyak. Ingin pintar dan lulus ujian. Budak terpelajar juga banyak yang bisa memberi kita les privat dan datang sesuai keinginan kita.

Memiliki budak itu nikmat terlebih bagi orang yang setiap hari kehidupannya selalu mengandalkan orang lain untuk berkendara sampai makan dan bahkan hangout bersenang-senang. Cukup isi dompet dan kartu kredit sedikit gemuk. Semua pekerja di dunia yang pas di kantong bisa dibeli untuk mengerjakan dan melakukan hal-hal yang tak ingin atau malas kita lakukan.

Budak lainnya, jelas presiden dan direktur sebuah perusahaan. Tapi mereka adalah budak elite. Jadi beban mereka tak seberat orang-orang yang gajinya hanya dua sampai tiga juta perbulan.

Karena saat seseorang sudah menjadi pekerja yang terikat. Maka otomatis dia memberikan hidupnya diperbudak oleh para konsumen. Itulah cara sistem ekonomi wajar bekerja. Harus terus menunduk untuk memuaskan konsumen dan mendapatkan gaji bulanan.

Sekarang, aku menikmati layanan pengantaran air minum dan sesekali laundri. Dulu aku tak pernah ingin melakukannya karena alasan idealis. Tapi kini, ternyata punya banyak pelayan modern itu nikmat dan sangat membantu.

Mungkin, aku akan menambahinya kelak.

PSIKOLOGI & PSIKOTERAPI 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang