Seseorang mungkin akan memandangi langit yang tipis, yang mengambang tepat di atas wajahnya. Bertanya tentang sejarah kehidupan miliknya atau melayangkan tatapan menerawang, mencari semesta yang entah itu apa.
Di saat kota tiba-tiba menjadi padam. Kabut yang bernama lampu-lampu akan menyingkir sejenak. Menutup kehadirannya bagi keberadaan yang sudah lama ada di sana. Saat kabut cahaya tertidur karena kelelahan atau suatu hal tertentu membuatnya mengantuk. Maka, kilauan keindahan muncul di antara ruang yang begitu gelap. Menghadirkan kegelapan yang bercambur dengan berbagai macam warna lembut nan memeluk.
Titik-titik bercahaya muncul dari atas sana, keluar dari cengkraman tidur yang dininabobokan oleh kota ini. Kota ini telah membekap dunia sekitarnya dengan cahaya matahari dua waktu. Sehingga, dunia tanpa malam membuat bintang-bintang menciut layaknya arloji yang berdentang di balik tirai bersulam mimpi.
Seseorang itu, yang tengah memikirkan sesuatu, di jarak langkah pusat kota yang bising. Mungkin tengah mempertanyakan hal yang biasa atau kesedihan yang tiada putus yang harus dialaminya. Atau, dia sekedar berjalan pelan di sebuah tempat yang membuatnya merasa bahwa dia harus sedikit meredakan isi kepalanya yang terlalu penuh.
Orang-orang yang ia temui di jalan berbagi wajah yang sama dengan dirinya. Pertemuan singkat yang sebentar yang tak akan lagi diingat. Wajah-wajah yang berdiam pendek di kekosongan. Tawa-tawa riang yang menyimpan lukanya masing-masing. Ah, dalam keadaan seperti itu, ia menenggelamkan dirinya di antara kerumunan manusia. Menyelinap masuk di aliran putaran hidup. Berpura-pura bahagia. Seperti setiap orang yang ia temui nyaris setiap harinya.
Di malam hari yang bagaikan taman rekreasi penderitaan manusia. Seseorang itu melihat ke arah bangunan-bangunan di sekitarnya. Kemegahan yang meluap di depan matanya. Terkadang tak lagi berarti banyak. Yang tersisa hanyalah kilasan deru sepeda motor dan mobil bersama jutaan kegembiaraan manusia yang palsu, membisingkan malam melebihi teriakan sakit dari hantu-hantu.
Cahaya kota yang terlalu panas dan memancarkan terang yang menyakitkan seekor ngengat. Membuat ia berhenti sejenak. Memandangi kedua kakinya di saat seluruh cahaya tiba-tiba menutup matanya. Saat lampu-lampu kota berhenti bernapas walau hanya beberapa waktu saja. Ia bisa mendapatkan malam hari yang sejuk. Tanpa perlu menunggu hujan mengetuk pintu kebosanannya. Atau rindu merasakan sekawanan angin yang pelan-pelan
mengikuti kulit tubuhnya dari arah belakang.Ia tahu, kota yang ia tinggali tak membuatnya bertambah hidup kecuali kesadaran yang dipaksakan bahwa ia cukup menikmati hidup. Hanya saja, terkadang, ia melepaskan isi kepalanya seperti itu. Dan seperti saat ini, memandang kagum pada apa yang telah lama tak dilihatnya.
Melihat ombak besar dari langit yang memancarkan jutaan bintang tepat di kedalaman matanya.
Seandainya saja kota seperti anak kecil dan tak terlalu menjadi dewasa atau menua begitu cepatnya. Ia mungkin akan melihat dunia, di mana kelelahan bisa sedikit terobati dengan hanya sekedar memandangi langit. Keindahan yang cukup lama terbungkam dari lingkungan kota. Kedamaian yang lenyap akibat keinginan untuk hidup lama dan abadi dalam kesengsaraan kerja yang tak lagi ia tahu untuk apa.
Di malam hari yang gelap, mungkin, ia akan belajar lagi untuk tersenyum. Pelajaran yang paling sulit bagi hatinya. Saat perasaanya sudah semakin lemah oleh ambisi-ambisinya yang gagal.
Ambisi akan kebahagiaan yang tak pernah bisa dicapai. Ambisi akan kedamaian yang melahirkan rasa sakit. Mengisi kota dengan penuh pesakitan, yang tersiksa oleh apa yang sulit mereka mengerti.
KAMU SEDANG MEMBACA
PSIKOLOGI & PSIKOTERAPI 2
Non-Fictionpsikologi & psikoterapi buku kedua. karena buku pertama sudah penuh. maka perlu membuat buku selanjutnya. menceritakan psikologi dan psikoterapi dan apa yang harus dilakukan dalam keseharian yang penuh beban, dan apa yang memberati perasaan dan pik...