Aku membaca bukuku, Bumi Yang Tak Dapat Ditinggali, sambil sesekali mengamati para perempuan yang tengah teralun dalam dunia mereka sendiri. Melihat para perempuan tengah belajar dan terdiam dalam pikiran mereka sendiri, seringkali sangat indah.
Keseriusan mereka. Diam yang begitu hening nan berpikir. Bagaikan pengalihan waktu akan sebuah dunia yang telah kehilangan buku-buku di ruang publik.
Malam ini, aku membawa tiga buku- Genealogi Moral, The God Delusion, Bumi Yang Tak Dapat Ditinggali- dan sebuah majalah National Geographic dengan judul Membantah Sains. Salah satu yang aku suka.
Aku membaca buku milik David Wallace-Wells dengan nyaman di sebuah cafe bernama Calais. Tepat di jantung kota. Berseberangan dengan Gramedia dan Perpustakaan Kota. Tak jauh dari Universitas Gadjah Mada dan Bentara Budaya Yogyakarta. Dan hanya beberapa ratus meter dari Tugu Jogja. Salah satu cafe yang paling nyaman dan begitu aku sukai, karena aku bisa menikmati membaca dengan kenikmatan tinggi. Hal yang jarang bisa aku lakukan di beberapa cafe yang lain.
Aku sendiri begitu sangat mudah dikenali di sini. Seorang laki-laki yang duduk sendirian di bawah sorot lampu dengan buku-buku berserak di meja kayu yang ada di depannya. Keberadaan yang mungkin terlampau langka dan tak lagi menarik. Karena di cafe mana pun, laki-laki yang bercengkrama dengan buku-buku yang cukup banyak di sebuah cafe, sangatlah susah ditemui. Itulah sebabnya, menemukanku begitu mudah dan juga, sebuah keberadaan yang telah menjadi kuno.
Sambil mendengarkan lagu-lagu instrumental dan bercengkraman dengan buku-buku. Mataku selalu mengamati. Di cafe mana pun. Aku selalu mengamati. Karena satu hal yang paling aku tahu. Akan ada para perempuan di situ. Dengan pelajaran dan tugas-tugas mereka. Suatu hal yang mungkin agak lucu, karena laki-laki jarang terlihat mengerjakan sesuatu seperti yang banyak perempuan hari ini lakukan di banyak cafe mana pun.
Cafe-cafe kian banyak diisi oleh para perempuan yang tengah belajar, mengerjakan tugas, memburu deadline, bercengkrama dengan teman-teman mereka dan mungkin juga, lari dari kenyataan kota yang membosankan. Hanya saja, selain para perempuan yang hanya duduk menikmati malam, hidangan dan minuman mereka. Keberadaan para perempuan yang tengah belajar dan sibuk dengan kertas-kertas, layar laptop yang menyala, dan kepala mereka yang menunduk, itulah yang paling membuatku menikmati suasana. Mungkin, sebagai teman jauh dari laki-laki pembaca buku yang hampir punah. Jika tidak ada para perempuan yang tengah belajar di sebuah cafe yang padat. Seseorang sepertiku, mungkin akan menjadi keberadaan paling aneh di muka bumi.
KAMU SEDANG MEMBACA
PSIKOLOGI & PSIKOTERAPI 2
Non-Fictionpsikologi & psikoterapi buku kedua. karena buku pertama sudah penuh. maka perlu membuat buku selanjutnya. menceritakan psikologi dan psikoterapi dan apa yang harus dilakukan dalam keseharian yang penuh beban, dan apa yang memberati perasaan dan pik...