Betapa susahnya untuk menjadi diri sendiri. Terlebih menjadi perempuan di sebuah negara bernama Indonesia. Karena terkadang begitu susahnya, banyak perempuan meninggalkan impiannya dan berakhir sekedar menjadi ibu rumah tangga atau bekerja sebagai wanita karir yang juga harus memupus banyak harapannya.
Hal yang paling tersingkir, pertama-tama, adalah intelektualitas. Ya mungkin bagi banyak orang masalah pikiran dan keinginan meneruskan studi di jenjang lebih tinggi demi alasan intelektual, ilmiah, filosofis, akademis cendikiawan, jarang menjadi pikiran serius. Karena sejak awal, banyak orang dididik untuk menjadi wanita. Bukan menjadi perempuan.
Menjadi wanita itu identik dengan ibu rumah tangga, seorang yang hidup demi anak dan keluarganya, demi suaminya, berada di rumah mengurus masakan, dapur, mencuci, atau sekedar berdagang untuk menambah penghasilan. Bisa dibilang sebagai peran pendukung laki-laki.
Kemunculan feminisme di dunia, membuat istilah wanita terasa membelenggu dan tak lagi layak untuk banyak orang. Akhirnya kata perempuan dipergunakan untuk menampilkan sesosok manusia yang jauh lebih bebas dalam berpikir, dalam memilih hidup, pekerjaan, menikah atau tidak, melahirkan atau tidak, dan hal-hal yang lebih ke arah kemandirian dalam banyak hal.
Menjadi perempuan berarti tak lagi banyak dituntut untuk hanya di dapur dan melayani keluarga. Tapi bebas melangkah untuk karir, untuk meraih kesuksesan, atau mengalami masa pemberontakan yang dahulu banyak tabu dan nilai tak mengijinkannya.
Hanya saja, di Indonesia, dunia laki-laki masih sangat berkuasa dalam banyak bentuk. Dari keluarga, agama, sekolah, kampus, dunia kerja sampai negara. Sehingga, menjadi perempuan pun masihlah sangat sulit.
Saat banyak kebebasan didapatkan tapi nilai-nilai masyarakat masih kuat membelenggu dan menatap kejam. Banyak perempuan akhirnya kembali menjadi wanita. Atau gabungan antara keduanya. Perempuan-wanita. Yang mana sisi wanitanya seringkali lebih cenderung mengambil alih.
Setelah kuliah, impian akan menjadi peneliti, ilmuwan yang sibuk mengejar penemuan, ekonom hebat, pebisnis sukses, dan pemikir yang luar biasa, berakhir dengan kenyataan bahwa ia harus kembali ke rumah.
Orang tua membatasi pergerakan dengan dalih agama, ketidakpantasan, takut dicibir atau digunjing tetangga, takut anaknya ditiduri laki-laki dan hamil lebih dulu, dan banyak nilai yang membuat perempuan tak bisa bebas untuk melakukan apa yang ia mau sejak kecil hingga remaja dewasa muda.
Jam main dibatasi. Jam pulang dibatasi. Selalu ditelpon ada di mana. Terus dipantau dan diawasi. Dan biasanya, jarang memilik hak untuk memilih pekerjaan, jodoh, karir, dan banyak lainnya dengan dalil kasih sayang. Beberapa dibebaskan tapi dengan syarat dan jauh lebih bebas tapi tak bisa lepas dari genggaman orang tua.
Dalam suasana keterbatasan itu, waktu yang dirampok oleh nilai-nilai. Menjadikan waktu yang perempuan miliki jauh lebih terbatas dari pada kebanyakan laki-laki.
Dalam keterbatasan waktu itu, banyak perempuan harus memilih antara menjadi intelektual, aktivis, ilmuwan, penyair, atau filsuf. Atau menjadi wanita karir, pekerja kantoran, pebisnis, ibu rumah tangga, pedagang, dan hal-hal yang berkaitan dengan uang dan kemapanan.
Karena pendidikan orang tua, agama, masyarakat, sampai negara telah menaklukan dirinya. Maka, yang ditanam sejak kecil adalah untuk mendahulukan hidup mapan dan nyaman. Atau damai dengan uang yang cukup atau melimpah.
Terlebih menjadi kaya di mata masyarakat jauh lebih bergengsi dan dihormati dari pada menjadi orang jenius atau pintar yang diacuhkan karena miskin atau pas-pasan.
Melihat realita semacam itu, banyak perempuan, akhirnya mundur. Terlebih para perempuan biasanya dituntut untuk membahagiakan orang tua, tidak jahat terhadap orang tua, patuh terhadap orang tua, harus membuat orang tua bangga, dan kelak harus mengurusi orang tua saat mau mati.
KAMU SEDANG MEMBACA
PSIKOLOGI & PSIKOTERAPI 2
Non-Fictionpsikologi & psikoterapi buku kedua. karena buku pertama sudah penuh. maka perlu membuat buku selanjutnya. menceritakan psikologi dan psikoterapi dan apa yang harus dilakukan dalam keseharian yang penuh beban, dan apa yang memberati perasaan dan pik...