Kedewasaan, tak banyak orang yang tahu apa artinya dari kata itu. Kecuali tubuh yang menua perlahan-lahan. Dalam artian sifat, tindakan, pilihan hidup, dan banyak lainnya. Menjadi dewasa bisa jadi sisi lain dari menjadi kejam, memaklumi pembunuhan jutaan orang atas nama egoisme, bersikap menutup mata, memaklumi hidup yang sebenarnya absurd karena tak ada pilihan lain, berkomplot atas keburukan, menjadi licik, mempertahankan kekuasaan dengan berbagai macam cara, rela menjadi budak pekerjaan, membungkam mulut demi uang dan keluarga, berkompromi dengan iblis yang ada dalam diri dan masih banyak yang lain.
Yang paling aku tahu, dari menjadi dewasa adalah menjadi budak hidup dan melepas kebebasan intelektual. Sehingga kadang, kedewasaan adalah memperbudak diri sendiri untuk meneruskan hidup.
Dalam alur untuk menerima kehidupan, orang harus menjadi dewasa. Dalam artian mematian hati nurani dan isi pikiran. Sebagian orang menolak menjadi dewasa seperti itu, yang pada akhirnya menjadi seniman, filsuf, intelektual, dan hal yang dianggap orang sebagai tindakan tidak dewasa atau tidak konsisten. Sebuah tindakan yang tidak mau diperbudak sepenuhnya oleh kehidupan dengan segala aturannya, seringkali disebut ketidakdewasaan.
Tapi apakah memang seperti itu?
Dalam dunia intelektual, menjadi dewasa juga berarti menjadi pengecut dan mati-matian menyembunyikan aibnya sendiri serapat mungkin. Aku sendiri bahkan nyaris jarang melihat orang-orang kaya yang telah dewasa dan makmur mampu membuka mulutnya dengan jujur perihal banyak hal.
Menjadi dewasa berarti juga membuat diri sendiri menjadi bodoh dan tolol. Lihatlah para orang tua yang rela mati-matian bekerja demi anaknya layaknya budak dan robot. Lihatlah para orang tua yang terus melahirkan anak dan tak menggunakan isi otaknya dengan baik bahwa melahirkan anak berarti meneruskan penderitaan dan masalah yang baru.
Lihatlah, guru-guru kita yang harus menutup mulutnya demi pekerjaannya sebagai guru dan harus diam atas tingkah lalu anak muridnya yang tak menyenangkan. Lihatlah setiap pagi, ada jutaaan atau miliaran manusia berpendidikan tinggi yang rela memperbudak diri sendiri demi kerja dan hidup. Mereka memiliki pikiran, tapi menolaknya, itulah yang disebut kedewasaan?
Apa itu menjadi dewasa? Ribuan pengungsi yang tak diketahui namanya? Jutaan orang mati yang tak ada seorang pun yang mengingatnya? Menjadi pribadi biasa yang menikmati hidup dan itu berarti juga mengamini seluruh kekejiaan di dunia ini?
Menerima hidup, berarti juga menerima semua yang ada di dunia ini. Dari kebaikan dan seluruh keburukan yang ada. Tapi orang dewasa semacam itu hampir punah. Yang aku lihat sehari-hari adalah orang-orang dewasa yang pandai bersembunyi agar selamat dan bisa hidup lebih lama. Itu berarti juga merendahkan dirinya habis-habisan demi gaji dan jabatan. Demi orang tua. Demi moralitas tanpa kritik. Demi agama yang membunuh jutaan orang. Demi kemanusiaan yang telah membunuh kemanusiaan lainnya.
Orang dewasa semacam itu biasanya pandai bersembunyi dan lebih memilih menjadi konsumen aktif dari pikiran orang lain sampai benda-benda buatan orang lain. Target hidupnya hanya sekedar hidup, mempertahankan hidup, lalu mati. Jumlahnya miliaran orang. Biasanya mereka lebih suka mematikan isi pikirannya di depan publik. Dan membiarkan seluruh kekejaman yang ada di dunia untuk alasan mempertahankan hidup, menyelamatkan diri sendiri, dan bisa menikmati kehidupan.
Kedewasaan logis yang membunuh hati nurani. Tapi apa ini salah? Tidak. Semua orang memiliki sejarah hidupnya sendiri. Hanya saja, kisah manusia hanya terus berputar seperti itu dan berakhir entah kapan karena mayoritas manusia enggan berpikir, menerima diri menjadi budak, dan tak mau menyelesaikan jalan terakhir yang telah dibukakan oleh para filsuf dan ilmuwan.
Ironisnya, menjadi dewasa berarti juga menolak kenyataan sejarah, kesimpulan psikologi dan filsafat manusia. Itu berarti membentengi dengan begitu rapatnya agar bisa terus hidup dengan tenang dan nyaman.
Menjadi dewasa juga berarti menjadi tua lalu mewariskan semua masalah ke generasi berikutnya dan nyaris tanpa pikiran dan niat ingin menyelesaikannya sama sekali. Tidakkah sejak dulu sejarah manusia nyaris sama saja? Dari warisan generasi terdahulu yang pernah menjadi dewasa. Para orang dewasa yang tak menyelesaikan inti masalah manusia. Itulah arti lain dari kedewasaan itu sendiri. Atau melarikan diri dari tanggung jawab moral dan tak peduli dengan generasi mendatang?
Apakah seperti itu kedewasaan? Tidak heran, jika hampir banyak masalah di dunia ini ditimbulkan oleh orang-orang dewasa. Mereka menciptakan masalah tapi juga tak menyelesaikannya. Kedewasaan yang akhirnya terwariskan dari abad ke abad: lari dari tanggung jawab moral demi egoisme kebahagiaan diri sendiri.
Egoisme juga adalah pilihan sadar dari pikiran dan tubuh yang dewasa. Berpikir logis dengan kematangan dan keakuratan tingkat tinggi untuk kebaikan banyak orang atau untuk memperbudak banyak orang, juga hasil dari kedewasaan. Angkat tangan dari masalah orang lain dan enggan membantu orang lain juga bentuk kedewasaan sehari-hari dari manusia.
Hanya saja, kedewasaan semacam itu nyaris selalu diberi topeng dan jarang bisa didiskusikan dengan keterbukaan tingkat tinggi. Para orang dewasa biasanya orang yang pandai menggunakan akalnya untuk membohongi diri sendiri dan orang lain.
Kedewasaan selalu diberi artian yang positif karena ketidaktahuan parah terhadap diri sendiri dan sejarah panjang manusia. Bagi banyak orang, menjadi dewasa berarti hanya sekedar menjadi lebih baik dalam melakukan pilihan hidup, lebih tegar, lebih pandai mengatur emosinya, lebih bisa dengan cepat memilih arah hidupnya, bisa menggunakan pikirannya secara rasional, dan sebagainya. Hanya saja, atribut lainnya, yang menyertai pilihan sikap seperti itu jarang disebut.
Orang jarang menyebut bahwa menjadi dewasa itu berarti sangat sadar bahwa dia memilih menjadi budak kehidupan. Hanya saja, karena dia tak menggunakan otaknya dengan benar, dan menolak kenyataan yang ada, dia menyebutnya dengan lebih lembut dengan kata "kerja", "cinta", "hidup", dan banyak lainnya. Dia menjadi dewasa dengan mengeliminasi jutaan perasaan empati setiap harinya dan anehnya kadang tak sadar akan itu. Bahwa, setiap dia masih hidup dan bernapas, dia hanyalah makhluk keji yang merusak kehidupan lainnya. Karena dia begitu dewasa, dia menutupi kenyataan itu dan menutup mata. Agar hidup terus berlanjut.
Lalu, pergi ke masjid, ke geraja, vihara, menyumbangkan sedikit (hanya sedikit) gajinya, melahirkan anak, dan sekedar hidup.
Itulah sebabnya dunia sampai di abad 21 dengan inti masalah manusia yang tak pernah selesai. Semua itu adalah hasil kerja dari orang-orang dewasa.
Dunia yang tak pernah selesai dan ingin diselesaikan. Apakah seperti itu kedewasaan?
KAMU SEDANG MEMBACA
PSIKOLOGI & PSIKOTERAPI 2
Non-Fictionpsikologi & psikoterapi buku kedua. karena buku pertama sudah penuh. maka perlu membuat buku selanjutnya. menceritakan psikologi dan psikoterapi dan apa yang harus dilakukan dalam keseharian yang penuh beban, dan apa yang memberati perasaan dan pik...