Saat tahun 2014, aku menyaksikan wabah virus Ebola yang sangat mematikan dan tampak jauh lebih mengerikan dari pada kasus Korona yang terjadi akhir-akhir ini. Beberapa negara memblokir pintu masuknya, mengakhiri empati dan tak lagi peduli dengan kemanusiaan.
Lembaga-lembaga dunia sangat terlambat. Begitu juga miliaran orang di dunia tidak peduli sama sekali. Karena, saat seseorang tidak terkena dampak, maka mereka tak akan peduli jika ada wabah ganas di benua lainnya. Atau perang yang menghancurkan sebuah negara. Tak ada yang peduli.
Saat Korona terjadi, mereka yang tak terdampak juga tak akan peduli. Korona hanyalah diperhatikan oleh mereka yang takut terkena dampaknya. Bagi yang tidak, atau di negaranya tak ada kasus sama sekali. Mereka tak terlalu peduli. Korban mati hal yang biasa. Manusia hanya statistik. Meminta empati juga adalah tindakan konyol saat perang Palestina saja tak banyak orang peduli. Krisis di Australia saja, orang-orang juga menutup mata.
Lalu, apa pedulinya, masyarakat tak terdampak dengan adanya Korona?
Kasus Ebola adalah pelajaran nyata untukku betapa empati berada dalam akhir keemasannya. Begitu juga dengan banyak perang, kasus bunuh diri, pembunuhan setiap hari, dan berbagai macam kematian akibat konflik yang juga tak dipedulikan karena mayoritas besar manusia tidak kena dampaknya langsung.
Ebola adalah kasus kecil dari krisis empati dan berakhirnya empati sebagai acuan utama keberlangsungan hidup manusia. Kini, Korona, yang telah didahului oleh Flu Burung, Sars, Mers, dan lainnya, yang biasanya dijadikan candaan dan bahkan olok-olokan, berputar balik mengenai mereka yang pernah melakukan olok-olok.
Mereka yang dulu tak pernah kena dampak langsungnya, yang bisa menertawakan kematian dan penderitaan orang lain, kini harus berpotensi terpapar oleh Korona, dan anehnya, meminta empati dan belas kasihan.
Banyak orang hari ini mendekati sosiopat. Walau mereka disebut sebagai kumpulan orang normal. Asal masalah besar, seperti bencana alam, perang, krisis politik dan ekonomi, serta wabah menyerang dengan ganasnya tak terjadi di depan mata mereka dan mengepung dunia nyata di sekitar mereka. Mereka yang tak peduli, dengan mudah tertawa atas meninggalnya orang lain.
Bahkan dengan mudah menyuruh orang lain mati asalkan dirinya tidak tertular. Kemanusiaan pun berakhir. Dalih yang diperlukan sangat lemah. Yaitu sekedar komentar di media sosial dan berkata, orang tertular membahayakan orang lain dan pantas untuk dibunuh.
Ya, kemanusiaan saat perang, bencana, dan wabah, memang sangat murah. Jiwa pembunuh masing-masing orang bermunculan dengan mengatasnamakan kebaikan bersama atau lebih tepatnya ego pribadi yang disamarkan menjadi komunitas algojo.
Inilah yang disebut orang normal. Sekumpulan sosiopat yang mengatasnamakan kebaikan bersama dengan membunuhi siapa saja yang berlawanan dengan komunitas bersama dan tanpa perasaan bersalah sama sekali. Dilakukan dengan kesadaran tinggi. Bahkan adakalanya sangat bangga saat melakukannya.
Inilah jenis gangguan jiwa yang tak pernah masuk di dalam buku psikologi abnormal. Yang psikolog dan psikiater pun enggan mengakuinya. Karena saat orang gila jumlahnya menjadi banyak dan didukung oleh nilai dan hukum. Maka kegilaan itu berubah menjadi normal.
Korona juga membuat secara jelas arah psikologi keseharian manusia hari ini. Dalam kasus Korona, anti empati terhadap pasien menjadi dalam kadar yang begitu tingginya. Orang tak lagi peduli dengan namanya pasien dan tak pernah berpikir jika kelak, dia sendiri dan keluarganya berubah menjadi pasien.
Kesadaran diri semacam itu belum muncul dan egoisme menjadi hal utama agar diri tidak terjangkit. Dalam keadaan belum terjangkit atau terdampak itulah, seseorang bisa menjadi luar biasa kejam, anti empati, dan bahkan sadis.
Siapa saja yang menjadi pasien boleh mati, dibunuh, ditembak, diisolasi, bahkan dikurung dan dibakar. Asal virus tidak menular dan dirinya tidak terjangkit. Empati untuk para pasien pun berakhir. Atau tak ada empati untuk pasien sama sekali. Yang ada hanya kebencian terhadap pasien yang tertular.
Bahkan pasien yang telah meninggal ditolak untuk dikuburkan dan ditempatkan dalam peristirahatan terakhir sebagai bentuk penghormatan penghabisan di mata manusia.
Ini adalah jenis empati manusia banyak yang terlihat sampai saat ini. Sebuah empati yang mendekati sakit jiwa dan sosiopat yang terselubung.
Saat seseorang yang tadi meremehkan para pasien mendadak menjadi sang pasien itu sendiri. Maka ia akan menjadi sangat marah dan merasa diacuhkan oleh dunia. Suatu mental manusia yang umum saat dirinya belum terdampak sama sekali.
Kita telah memasuki abad Anti Empati. Saat manusia dengan mudahnya menutup perasaannya demi keselamatan diri sendiri. Saat satu orang melakukannya dan diikuti oleh miliaran manusia lainnya. Maka, empati memasuki masa krisis terbesar dalam sejarah. Kita tengah menuju ke abad di mana empati sebagai nilai utama manusia, akan berakhir. Masa keemasan empati telah lama berlalu. Dan kelak, orang tak akan peduli jika orang bunuh diri, melakukan pembunuhan, adanya bencana alam, wabah pandemi, dan bahkan jika genosida terjadi. Kebanyakan orang juga tak peduli. Karena mereka tak terkena dampaknya.
Itulah alasan dibalik kenapa banyak perang tak bisa dengan mudahnya selesai, konflik agama sangat mudah meluas, dan kematian akibat kelaparan di benua lainnya tak kunjung hilang. Karena, kebanyakan orang yang ada di dunia ini, hanya hidup untuk diri sendiri dan segelintir orang yang penting bagi dirinya.
Mereka tak pernah merasa bersalah. Atau tak pernah mencoba untuk menyelesaikannya. Karena mereka bukan bagian yang terkena dampak.
KAMU SEDANG MEMBACA
PSIKOLOGI & PSIKOTERAPI 2
Non-Fictionpsikologi & psikoterapi buku kedua. karena buku pertama sudah penuh. maka perlu membuat buku selanjutnya. menceritakan psikologi dan psikoterapi dan apa yang harus dilakukan dalam keseharian yang penuh beban, dan apa yang memberati perasaan dan pik...