Setiap hari, di pagi hari yang masih dingin saat seseorang berusaha dengan keras membuka kedua matanya. Tubuh mengerut dan waktu memandat menjadi kerentaan. Sebuah kota yang kembali dalam keramaiannya, mengunci setiap usia yang datang terlalu cepat. Seolah, segalanya tiba-tiba dalam sekejap. Sekali waktu. Bagaikan menghunus sebilah pisau tepat di tenggorokan dari pertahanan yang sudah tercecer dan tak lagi kokoh.
Kalendar yang tanggal satu persatu. Masa depan yang kian menjauh dari tubuh masa kecil. Cermin yang memantulkan bagaimana tubuh tak lagi mampu membohongi segala hasrat dan penolakan akan yang tak diingini.
Di sebuah kota yang memakan segenap kekecewaan dan ketakutan akan datangnya hari esok. Bertambahnya usia seperti kegagalan dari masa silam yang seolah baru saja dilalui.
Umat manusia, menjelma rasa takut akan pertambahan usianya sendiri.
Kota yang pernah memanjakan masa lalu kini begitu menekan dari segala sisi. Ikatan-ikatan yang lepas. Keseharian yang memburam layaknya lampu kecil di pinggiran jalan. Suara gumanan rasa sakit yang mengembara terlalu jauh memasuki lanskap kota yang berdindingkan sepi.
Kebahagiaan yang habis terlalu cepat. Membuat keceriaan memudar dari wajah orang-orang yang hidup di perkotaan. Wajah-wajah yang lesu dan enggan. Menjadikan keabadiaan hari tetaplah sebagai hari.
Keseharian manusia semacam monster yang menerobos masuk ke dalam mimpi dan merongrong kesadaran kanak-kanak terakhir yang manusia miliki.
Seseorang yang tadi terbangun itu mungkin akan terkaget bahwa dia masihlah hidup. Atau terkejut bahwa dia pada akhirnya akan sama dengan orang-orang terdahulu. Tertatih terbangun. Bergegas segera. Mengejar kemapanan dan hubungan yang bernama cinta, yang harus dipertahankan lewat pekerjaan yang tak lagi membuat senang. Demi seseorang yang disayangi, yang sebenarnya tak lain bukan sekedar demi ketakutan-ketakutannya sendiri.
Saat dia tengah berada di perjalanan, di dalam mobil yang setiap hari membatasi luas pandangnya. Dia mungkin akan sedikit berpikir mengenai sejarah kehidupannya. Sejarah singkat dirinya sebagai seorang manusia. Diri yang sejak kecil dan hari ini bukanlah dirinya sendiri.
Setiap pagi, dalam perjalan menuju, menyaksikan beraneka manusia di pagi hari, terasa menyaksikan warna-warnanya yang cerah sekaligus suram. Segala kegigihan, keinginan untuk bergerak dan bangun, dan hari yang sebisa mungkin harus dijalani, menyisakan rasa pedih bahwa nyaris semua manusia yang dilihatnya menjalani seluruh hidupnya dalam keterpaksaan.
Anak-anak sekolah yang berpuluh tahun harus disiksa untuk menjadi orang lain dan patuh. Orang-orang yang baru saja menginjak kedewasaan dan terbebas dari kata bernama sekolah, harus rela menjerumuskan dirinya ke dalam kubangan bernama pernikahan dan pekerjaan. Lalu, dengan sekuat tenaga, menghabisi sisa usianya sendiri sampai napas terakhir tersengal dalam kutukan penyakit atau kematian yang mendadak hadir begitu cepat dan tak terdugaa.
Itulah sebenarnya sejarah manusia. Sejarah orang-orang perkotaan. Arti sesungguhnya dari setiap hari, dalam sebuah kota yang menampilkan dunia manusia yang hampir sesungguhnya nyata.
Usia yang terus merangkak, pelan, lambat, menyiksa, membawa usia tua menjadi terlalu melelahkan untuk dijalani. Sedangkan mereka yang masih remaja, datang terlalu cepat kepada usianya. Terlalu tua di tubuh yang terlalu muda. Terlalu sakit di usia yang baru beranjak dari masa kecil.
Sejarah usia manusia adalah sejarah perbudakan diri sendiri. Nyaris tak ada kebebasan di situ. Kecuali sekedar mempertahankan hidup dan seolah, segala kekayaan yang dimiliki, membuatnya terbebaskan dari apa-apa yang sejak kecil telah mengikatnya.
Saat berada di pesta atau reuni akan teman-teman masa lalunya. Segala jenis usia bertabrakan dan berubah menjadi pertikaian di dalam pikiran dan hati.
Dulu, mereka semua masihlah anak-anak. Atau para remaja bengal dan sedikit malu-malu. Tapi kini, segalanya telah menjadi dewasa. Terus menjadi dewasa. Sampai akhirnya rantai sempurna mengikat semua orang dalam ruangan yang ditakdirkan untuk menyepakati kepura-puraan besar akan kehidupan yang terus bertambah.
Waktu mendorong perasaan lugu menjadi begitu sakit. Dalam tawa riang kebohongan yang dimengerti bersama. Usia manusia hanyalah jejak diri dari segala jenis tipuan dan belenggu-belenggu.
Saat mati berada di depan mata. Maka, tak ada lagi yang tersisa. Dan sebuah kota yang sudah terbiasa melihat orang-orang menua dan mati lalu hilang tanpa bekas dan jejak. Tak peduli akan semua itu.
Hanya saja, sebagian manusia memandang ngeri terhadap usianya yang terus bertambah. Seseorang yang sadar akan ulangan-ulangan. Yang setiap pagi membuka matanya dan mengisi semua masa depan dengan hanya sekedar kehidupan seperti biasanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
PSIKOLOGI & PSIKOTERAPI 2
Non-Fictionpsikologi & psikoterapi buku kedua. karena buku pertama sudah penuh. maka perlu membuat buku selanjutnya. menceritakan psikologi dan psikoterapi dan apa yang harus dilakukan dalam keseharian yang penuh beban, dan apa yang memberati perasaan dan pik...