KOTA TANPA TUJUAN HIDUP

131 4 0
                                    

"Maut memusingkanku karena aku tidak menyukai hidup: itu sebabnya dia menakutkanku. Dengan menyamakan maut dan kemasyuran, aku menjadikan dirinya tujuanku," tulis Jean Paul Sartre dalam Kata-Kata.

Hanya saja, di sebuah kota yang tak merasakan apa pun. Bahkan sekedar tangisan bayi atau gumam kesakitan seorang di atas ranjangnya. Banyak orang telah lama kehilangan tujuan hidupnya.

Saat maut berjalan santai di atas trotoar-trotoar. Atau mengintip lewat gang-gang dan pintu-pintu yang tertutup maupun terbuka.

Sebuah kota dengan tujuan hidup di dalamnya, hanyalah keheningan yang panjang.

Secuil kebahagiaan disematkan pada tujuan hidup penuh pura-pura. Begitulah setiap kota yang begitu sesak di pagi hari. Bau keengganan dan rasa muak akan hari dan hari. Ditimang sementara oleh senyum mengembang yang aneh dan kebahagiaan yang tak pernah bisa bertahan sampai dua hari.

Di antara gelak tawa dan kepuasaan akan hasrat seksual yang begitu liar dan bebas. Orang-orang masih tetap menutup pintu untuk orang lain. Hubungan sosial menjelma sebagai kebohongan yang disepakati bersama, agar segala sesuatunya berjalan dalam hiruk pikuk sebelum semuanya kembali menghilang dan merembes ke tanah.

Di sebuah jalan dan kota tertentu. Seorang anak kecil mungkin akan terlihat begitu riang dan hidup.

Tapi lihatlahlah lebih dekat. Setiap anak kecil sekarang menyimpan terlalu banyak amarah dan keinginan-keinginan. Yang suatu saat nanti, akan meledak dalam tubuh dewasanya.

Sebelum umur tiga puluh menginjakkan dirinya di depan pintu kamar masing-masing. Usia remaja lebih dulu menjerumuskan manusia dalam keterasingan dan perasaaan menderita yang suatu kelak, akan terasa abadi.

Seorang di suatu tempat, mungkin tengah termenung membaca Nietzsche. Menatap tajam sebuah kalimat semacam ini: "Tak satupun orang bebas untuk hidup di mana-mana."

Itu benar. Di kota yang diliputi perang dan kebencian. Tujuan hidup hanyalah kebebasan untuk mati dan mengerucutkan derita untuk memulai hidup baru yang tipis. Di kolong jembatan, di permukiman kumuh, di antara got dan tumpukan sampah. Segala tujuan hidup yang dikobarkan oleh para ahli agama dan para filsuf, mengiggil layaknya pisau karat yang menunggu untuk didekatkan ke leher yang terlalu kering dan ringkih.

Tak seorang pun bebas. Bahkan untuk sekedar bahagia dan memilih diri sendiri. Hanya saja, sebuah kota mungkin lebih tahu. Manusia bebas untuk menderita dan sakit. Setiap saat. Sehari-hari.

Di sebuah area tertentu. Di pusat segala kemewahan yang harusnya berujung bahagia. Seorang perempuan, atau laki-laki yang telah mencapai ketinggian dari status sosial dan kekayaannya. Akan terlihat menatap kosong makanan atau minuman yang ada di depan matanya.

Malam kemarin, dia mungkin telah melihat musisi terkenal yang bunuh diri. Di lain kesempatan, seorang aktorlah yang bunuh diri. Di hari entah apa lagi, anak sekolahanlah yang malah mengakhiri detak jantungnya sendiri.

Waktu terhitung semakin berat. Beban setiap hari untuk hidup, adalah pekerjaan yang tanpa jeda.

Untuk apa hidup itu? Kenapa harus diteruskan?

Perlahan, alasan-alasan dirinya mempertahankan hidupnya, satu persatu terlucuti. Saat ketelanjangan itu datang lebih cepat dari yang pernah diduga. Segala keabsurdan menerkam diri.

Begitu erat. Kuat. Dan mengoyak.

Di sinilah, kota memangsa segala tujuan hidup yang pernah dan dimiliki manusia. Melumatnya dalam masa depan dan masa depan baru. Mengawasi setiap bayi yang akan datang. Sebelum kelahiran dan segala yang hidup memercik.

Sebuah kota, yang tak pernah memiliki hati dan perasaan akan segala jenis kehidupan. Menjadi rumah bersama bagi orang-orang yang tak tahu untuk apa sebenarnya mereka berada di dunia.

PSIKOLOGI & PSIKOTERAPI 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang