Menjadi cuek di tengah dunia semacam ini, efek psikologisnya sangat nyata. Menyenangkan. Bahkan juga menenangkan.Kamu tak perlu peduli dengan nyinyiran orang lain. Tak usah urus masalah kemanusiaan. Orang mati karena wabah, biarkan saja. Para dokter meninggal, itu urusan mereka. Pemerintah tak becus mengurus negara. Anggap saja angin lalu. Dunia tampak mengerikan dan bencana besar ada di depan mata kita. Santai saja kali.
Jika para orang miskin mengoceh kelaparan dan tak bisa menghidupi dirinya, itu bukan urusan kita. Toh ini negara liberal di mana orang boleh menjadi kaya nyaris semua mereka asalkan bisa cukup kejam juga asal sehat dan hidup. Alasan miskin dan alibi kemiskinan hanyalah untuk mereka yang kalah dan tak siap menjadi kaya. Orang-orang kaya mengeluh pabriknya tutup, menjadi miskin mendadak, tak bisa membayar kredit ini dan itu. Itukan pilihan hidup mereka. Mereka harus berani menanggung dampak dari segala jenis pilihan hidup. Menjadi kaya juga resiko.
Ada berita berseliweran di beranda sosial. Anggap saja hiburan dan candaan dari kehidupan yang entah. Dunia sedang kacau. Itu urusan dunia. Teori konspirasi? Yaelah, tak peduli amat.
Tetangga sebelah bunuh diri. Tak penting. Artis meninggal dunia, apa urusan kita? Konflik agama dan ras. Emang penting? Krisis ekonomi, biarkan menteri ekonomi saja yang mengurus.
Anak kecil kere, bau, ngemis di jalanan. Dah biasa. Kebal. Gelandangan di pinggiran jalan kota, wajar. Normal. Anggap saja estetika kota. Teman tiba-tiba ngechat minta pinjam uang. Langsung bilang tak ada. Auto blokir. Atau pura-pura miskin.
Cuek itu terapi. Kita tahu itu. Kita sering melakukannya. Tapi kita tak pernah mau menganggapnya sebagai nilai yang indah di tengah ketidakjelasan manusia. Dalam sikap cuek kita nyaris terhadap apa pun. Kita hidup untuk diri sendiri. Yang jauh lebih indah, saat kita membudidayakan cuek dimulai dari diri kita sendiri.
Mari kita abaikan dunia, lalu kita lihat hasilnya.
Mencari uang. Menjadi mandiri. Asalkan perut kenyang, kebutuhan sekunder terpenuhi juga. Atau malah banyak hal yang tersier atau mewah tersedia. Maka, dunia ini rubuh yang bodoh amat.
Perang dunia, terserahlah. Korea Utara nantinya mengebom negara lain, ya mari tepuk tangan. Orang Palestina hidup mengenaskan di bawah Israel. Anggap saja tidak kenal. Perang dagang Amerika-Cina sampai cuap-cuap wabah Korona, anggap saja sekedar tontonan.
Warga Rohingya ditolak di mana-mana, anggap saja tak pernah lihat. Banyak orang sibuk berdoa ke Tuhan di tengah pandemi, ya itu urusan mereka. Asal tak membuat gaduh, mereka mau terjun ke surga atau ke laut, biarkan saja. Berita orang mati kelaparan, anggap saja itu cerita fiksi yang menarik.
Debat saling menghina di media sosial? Senyumin saja. Presiden tak becus mengurus negara. Maklumi sajalah. Ada teroris sampai bencana alam, anggap saja biasa. Tak perlu heboh. Atau, bersenang-senanglah dengan berbagai cara yang mungkin. Semisal selfie di tengah banjir. Atau menikmati hujan sambil telanjang.
Menjadi cuek. Membudidayakan kecuekkan kita sehingga menjadi nilai, budaya, dan keseharian. Akan sangat menyenangkan dan jauh lebih menghibur.
Saat angka kematian karena perang dan wabah kian bertambah dan orang berdebat saling sok benar. Kita tinggal saja nonton drama Korea, bermain game, ngeseks, membaca komik atau buku, menonton film, sekedar tiduran, atau ngemil sambil menikmati musik. Menghabiskan stok anime. Atau malah kalap di belanja online.
Tak perlu mengurusi orang-orang. Asal tidak kere dan masih cukup uang atau banyak uang. Menjadi cuek itu indah.
Jika banyak orang iri, itu terserah mereka. Uang kita dari orang tua kita atau kita bekerja keras untuk mendapatkannya. Jika mereka mengeluh tak adil, anggap saja jeritan dari orang yang tak mampu kaya padahal sudah diberi hidup dan kebebasan untuk mendapatkan kekayaan. Jadi, dengan apa yang kita miliki, asal perut kenyang dan kelaparan tak mengintai kita. Menjadi cuek dan egois itu sangat berguna bagi kesehatan jiwa kita.
Kenyataan sehari-hari bahwa kita itu cuek dan egois, adalah kenyataan. Tinggal mengakuinya saja. Lalu bersenang-senang dan tidur sepuasnya.
Jika tidak begitu, kamu biasanya akan menjadi orang baik yang impoten. Merasa diri baik tapi tak melakukan apa pun. Tak mau menyumbang. Tak mau membantu. Tak mau berkorban. Tak mau sakit. Tak mau menderita demi orang lain. Punya niat baik tapi tak mau melakukannya. Sebuah khayalan kebaikan yang anggap saja tak penting. Dari pada menjadi orang munafik semacam itu. Lebih baik mengakui kita ini brengsek dan hidup suka-suka. Asal tak kelihatan mengganggu orang-orang. Di kamar sendiri sesukanya dan abaikan semua yang bisa diabaikan.
Hidup akan indah.
Mari membudayakan cuek. Kita sangat butuh itu di dunia yang semacam ini. Dari pada ikut gegap gempita manusia-manusia baik impoten yang saling menghujat dan mengaku yang paling benar. Lebih baik menikmati diri sendiri. Abaikan yang tak perlu. Jika nyawa orang lain tak perlu. Abaikan saja. Jika kemanusiaan tak perlu. Abaikan saja. Biarkan yang lain mengurusnya. Tak perlu repot. Hidup cuek dan menjadi parasit itu menghibur.
Kenyataan kita memang seperti itu. Tinggal dinikmati saja. Menyenangkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
PSIKOLOGI & PSIKOTERAPI 2
Non-Fictionpsikologi & psikoterapi buku kedua. karena buku pertama sudah penuh. maka perlu membuat buku selanjutnya. menceritakan psikologi dan psikoterapi dan apa yang harus dilakukan dalam keseharian yang penuh beban, dan apa yang memberati perasaan dan pik...