FILSUF DAN KOTA YANG MENYENDIRI

210 7 0
                                    

Seorang filsuf tengah membayangkan dirinya berada di reruntuhan sebuah kota. Membayangkan atau benar-benar berada di sana. Melihat masa lalu dan hari ini, menarik diri dalam persimpangan yang begitu letih.

"Segala sesuatu yang dalam suka dengan topeng," tulis Nietzsche, dalam gambaran pikirannya yang memanjang, membelok, terpapar akan dunia yang tengah dilihatnya.

Di sebuah kota di mana hari ini, dan hari esok adalah tangisan dari tanah yang terbelah dan menguar daging orang-orang mati. Setiap perang adalah kedangkalan menuju kedalaman. Kedalaman yang menghancurkan kota-kota. Membuat dirinya termenung akan waktu yang terasa menjadi berat dan begitu murung.

Langit akan terasa putih yang diselubungi biru pucat yang membentang ke segala penjuru rasa sedih. Ia mungkin akan melihat anak kecil yang menangis sesenggukan, mengais sisa tubuh orangtuanya yang telah menutup setiap kalimat menjadi titik. Di antara jalan kering berbatu yang remuk, sekumpulan orang terlihat menertawakan kisah hidupnya.

Betapa puasnya kota menelan segala yang hidup.

Ia ambil kerikil kecil di bawah kakinya. Melemparkannya menuju aliran kisah yang memanjang ke belakang dan ke depan. Di tatapnya masa depan yang rapuh sekaligus dingin. Sesekali terdengar desah kesal dari mulutnya yang sejak tadi terdiam dalam kesepakatan kedua matanya.

Kota yang terlantar. Meminjam dirinya sendiri terus-menerus. Mengikat apa yang hilang menuju penderitaan yang menjadi dongeng-dongeng. Kehampaan dari yang pernah ramai. Kesakitan dari keramaian yang dulu diisi sebagian tawa yang meragukan tapi tetap lebih menyenangkan dari pada hari ini.

Di sudut-sudut yang pernah hidup, angin menginjak dedaunan dari pepohonan yang mengering. Sekering usia bumi dan manusia yang berdatangan, menjadi kumpulan api yang membakar dirinya sendiri.

Filsuf itu sekali lagi menggelengkan kepalanya. Kota yang ditemuinya mungkin hanyalah kisah dari ulangan yang hanya sekedar berjeda. Kehidupan yang menuju nihil. Kekosongan yang berderap bersama debu-debu yang memadat saat hujan sesekali jatuh menghibur para binatang yang entah karena apa, masih sanggup mengurus dirinya sendiri.

Sekali waktu, perasaan sedih menggelayuti hatinya. Dengan gontai ia berjalan. Menuju waktu yang ada di depan sana. Selalu saja di depan sana. Di atas segala puing dari kota yang menuju sekarat dan mati.

Di sini, kebahagiaan dibekukan menjadi masa yang terlalu jauh. Meninggalkan kota menuju kepada dirinya sendiri. Keberadaan yang menua dan menjelma kosong.

PSIKOLOGI & PSIKOTERAPI 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang