Suasana pasar sangatlah menenangkanku. Begitu cair. Ramai dengan obrolan dan ramah tamah. Diisi oleh begitu banyaknya manusia, yang kebanyakan bukanlah orang-orang yang biasa aku temui di galeri kesenian, di dunia intelektual, atau mereka yang berada di dunia bisnis dan memiliki jabatan.
Bukan. Bukan mereka yang aku lihat dan saksikan di pagi ini. Tapi orang-orang biasa. Yang berasal dari desa, kampung, gang-gang kecil di kota ini, atau para ibu-ibu yang masih kental dengan kenangan pedesaan dalam dirinya walau kini sudah menetap di kota dan begitu makmur.
Banyak orang yang kulihat dan mengamati satu persatu dari mereka sangatlah menarik. Ada penjual jajanan pasar, tahu-tempe, buah-buahan, ikan, daging, toko kelontong, penjual sayur-mayur, kerupuk, minuman tradisional, penjual nasi, dan banyak lainnya. Tak lupa, keberadaan tukang parkir yang selalu ada nyaris di mana pun.
Aku membeli tempe berbentuk kotak hanya dengan seribu lima ratus rupiah saja. Dengan kualitas tempe yang sangat bagus. Juga, aku membeli ikan berisi empat ekor yang cukup dengan empat ribu rupiah. Jajanan seperti tahu bakso yang persatunya hanya seribu saja. Juga terang bulan dengan potongan yang cukup besar, hanya seribu rupiah saja. Walau, di dalamnya hanya ada sedikit cokelat. Tapi seribu rupiah, tidakkah sangat luar biasa murah?
Jika seseorang sering pergi main ke pasar malam sewaktu masih kecil. Pastilah ingat berbagai macam jenis roti yang sering menyertai keberadaan pasar itu. Di Pasar Bringharjo yang sering aku datangi untuk menikmati pagi dan berbelanja. Makanan semacam itu hanya seharga seribu sampai dua ribu saja.
Kerupuk satu plastik penuh hanya empat ribu rupiah. Yang bisa tak habis sampai malam hari. Atau bahkan masih sisa sampai esoknya. Cabai yang masih bisa dibeli hanya dengan dua ribu saja. Begitu juga bawang merah dan putih. Lalu, bayam yang hanya dijual dua ribu lima ratus.
Ketumbar pun hanya seribu rupiah dan sudah bisa digunakan selama beberapa Minggu kalau tidak terlampau sering memasak. Aku juga membeli bakso seharga dua belas ribu lima ratus rupiah dengan isi 25 butir. Sangat luar biasa. Bahkan ada sayur yang terbuat dari daun pepaya, dimasukkan ke plastik kecil seharga seribu rupiah, yang tinggal dilahap bersama nasi.
Tahu bakso seharga seribu rupiah. Ditambah minyak dengan harga wajar.
Pasar pagi ini, adalah surga bagi segala yang murah. Jaraknya dekat. Juga penuh dengan ramah tamah, senyum, bahkan bisa juga melakukan tawar menawar.
Hanya saja, nyaris tak ada anak muda di sini. Apalagi para remaja perempuan dan mereka yang tengah asyik berkuliah. Bagi anak-anak ini, pasar haruslah dijauhi. Sedikit sekali remaja-muda, baik perempuan atau laki-laki, aku temukan di pasar untuk membeli segala keperluan dalam memasak. Padahal, Jogja diisi oleh banyaknya anak sekolahan dan mereka yang tengah berkuliah.
Tapi, sedikit sekali aku bisa menemukan jenis remaja yang mau repot-repot ke pasar.
Mereka, lebih suka suasana swalayan yang sering juga aku datangi. Sedikit mahal, tapi bersih, tak perlu banyak bicara, tak usah ada tawar menawar, dan nyaris tak jauh beda dengan mal.
Di tempat semacam itu, yang tadinya sayur bayam seharga dua ribu sampai dua ribu lima ratus. Di swalayan itu dihargai empat sampai hampir lima ribu. Begitu juga harga telur, tempe, cabai, dan banyak lainnya, jauh sedikit lebih mahal.
Tapi, remaja-muda sekarang ini sangatlah menyukai tempat semacam itu dan begitu mudahnya mengambil apa saja yang harus diambil. Bahkan jika pasar yang lebih murah, sangat dekat dari tempat ia tidur dan berteduh.
Jika aku mengamati antara mal, swalayan, dan juga pasar. Maka yang terakhir hanyalah diisi oleh para orang tua saja. Generasi muda sudah tak lagi menginginkan keberadaan pasar tradisional yang dianggap bau, berisik, kotor, dan kadang demi menjaga gengsi. Atau memang sejak awal tak terbiasa dan nyaris tak pernah mengenal pasar sama sekali.
Tapi aneh, jika mereka yang orang tuanya berdagang di pasar, memiliki kios di pasar, membeli bahan masakan di pasar, juga tak memiliki cukup banyak uang untuk diberikan ke anaknya yang kini sedang bersekolah atau berkuliah di luar kota. Kecuali uang yang cukup untuk kebutuhan satu bulan saja. Anak-anaknya, nyaris tak lagi mau menyentuh pasar dan seolah risih. Lebih menyukai swalayan yang harganya lebih mahal dan serba dalam diam itu.
Setiap aku berada di Mirota Kampus, salah satu Swalayan di kota ini. Aku melihat ratusan remaja-muda yang begitu cekatan dalam mengisi keranjang belanjaannya. Tapi aku nyaris tak menemukan mereka di pasar. Kecuali keberadaan satu dua yang begitu jarangnya.
Apakah hampir semua remaja-muda hari ini terdiri dari orang-orang kaya? Sedangkan para orang tua di pasar adalah jenis dari orang-orang miskin? Atau, pasar hanyalah untuk mereka tak tak gaul, tidak cool, kurang terlihat bangsawan, dan miskin sehingga banyak remaja-muda hari ini begitu menjauhi pasar dengan terang-terangan?
Saat aku berada di mal, aku juga bisa melihat banyaknya remaja-muda di situ. Sekedar melihat-lihat atau membeli sesuatu. Tapi di pasar? Sangatlah susah aku temukan.
Membandingkan suasana pasar,
swalayan, dan mal, sangatlah menarik. Karena ada pergeseran budaya, pikiran, nilai, emosi, status, dan tentunya mental.Remaja-muda hari ini semakin bermental bangsawan. Saat mereka sedikit saja memiliki uang di tangan. Mereka akan cenderung mencari dan menghabiskannya di tempat-tempat yang dianggap modern dan gaul: swalayan, mal, dan cafe.
Mungkin, yang masih sedikit tersisa dari sikap keseharian yang terlihat tak mewah adalah sebagian dari mereka masih bisa makan di mana saja. Dari restoran mewah, cafe, pinggiran jalan raya atau bahkan angkringan. Sisa yang lainnya, kian menghilang dan tergusur oleh kebudayaan baru yang serba mudah dan cepat.
Terlebih layanan yang serba online.
Padahal, pasar adalah terapi yang menghibur dan melegakan. Di kampus, atau sekolah, suasana kadang layaknya di tempat kerja. Saat di mal atau swalayan, perasaan yang di dapat seperti dalam ruang pendidikan dan bisnis. Jarak yang lebar. Saling diam. Jangan sampai melirik dan tersenyum pada orang lain karena akan dianggap aneh atau bahaya.
Suasana yang benar-benar bagaikan terkontrol dan masing-masing tak ingin mencampuri urusan orang lain. Bahkan sekedar bertanya itu pun nyaris jarang terjadi.
Dalam banyak hal, kita sudah membiasakan hidup di dunia bisu yang tak saling mencampuri. Dalam dunia yang kita kenal sehari-hari, kita seharusnya jauh lebih paham apa itu hubungan sosial. Hubungan yang mudah retak dan berisi toleransi yang bisa meledak kapan saja.
Kadang, aku pun mencoba menghindari tempat-tempat keramaian semacam itu. Pasar menjadi salah satu pusat keramaian yang lebih ramah dan masih sedikit menyisakan siapa itu manusia.
KAMU SEDANG MEMBACA
PSIKOLOGI & PSIKOTERAPI 2
Non-Fictionpsikologi & psikoterapi buku kedua. karena buku pertama sudah penuh. maka perlu membuat buku selanjutnya. menceritakan psikologi dan psikoterapi dan apa yang harus dilakukan dalam keseharian yang penuh beban, dan apa yang memberati perasaan dan pik...