Budak cinta itu dibutuhkan. Tanpanya, banyak pasangan akan mengalami akhir yang mengenaskan dalam hubungan mereka. Tak pernah mampu bisa menjalin satu hubungan yang kokoh. Mudah memutuskan hubungan dan bercerai dengan leluasanya.
Akhir-akhir banyak sekali ujaran miring mengenai kecintaan kita terhadap seseorang. Kerelaan kita berkorban dan sakit demi seseorang yang kita cintai. Hal semacam itu, kini dianggap sebagai budak cinta. Atau hubungan yang dinilai negatif dan kurang baik.
Ini sangat lucu, jika yang menyuarakannya adalah mereka yang memiliki pasangan, entah itu kekasih atau pasangan hidup. Bahkan sangat aneh jika yang menjadikan istilah itu sangat buruk padahal mereka hidup di bawah lindungan orang tua mereka yang terlibat dalam budak cinta selama puluhan tahun. Bahkan bisa lebih dari setengah abad.
Budak cinta sangat tepat disuarakan bagi mereka yang gagal dalam percintaannya, marah karena tak pernah memiliki kisah cinta yang indah, selalu ditinggalkan, kecewa dengan kata cinta, dan segala yang berkaitan dengan cinta. Lalu iri dengan segala hal yang berbau cinta dan kebahagiaan cinta seseorang.
Perasaan negatif dari kegagalan percintaan ini diarahkan ke orang lain dengan perasaan tak nyaman, muak, dan jijik. Dalam artian, karena dirinya sendiri tak bisa memiliki cinta yang indah dan menyenangkan. Maka istilah budak cinta disematkan ke semua orang yang rela berkorban dengan pasangannya, rela mati, bahkan rela menderita untuk mempertahankan hubungannya.
Penyematan ini berlatar belakang perasaan iri, dengki, dan ketidaksukaan melihat orang bahagia.
Beberapa psikolog yang entah siapa itu berseliweran di berita dan kanal, membeberkan apa itu budak cinta dan hal-hal yang berkaitan dengannya secara negatif.
Dalam kisah cinta, kita bahkan rela diperbudak pasangan kita. Kita pun menikmatinya. Kita juga secara tak langsung memperbudak pasangan kita untuk mendapatkan kenikmatan dua pihak. Atau kenikmatan timbal balik. Perbudakan cinta ini dilegalkan dalam hukum dan nilai-nilai agar hubungan rumah tangga tidak mudah mengalami perceraian.
Psikolog yang jarang menggunakan otaknya, mungkin akan berkata satu arah. Bahwa budak cinta adalah mereka yang menuruti perkataan dan perintah orang yang dicintainya demi mempertahankan cintanya. Dan lupa bilang, bahwa mencari pasangan di abad semacam ini sangatlah tidak mudah. Psikolog yang otaknya entah di mana itu, juga tak bilang, bahwa menjadi masokis pun bisa sangat menyenangkan.
Masokisme adalah hal yang aneh dalam sudut mana pun. Saat yang lainnya disakiti dan malah menyukainya. Tidakkah kita semua rela sakit, bahkan kadang diduakan, diancam ditinggalkan, dan memiliki ketakutan hubungan hancur?
Bahkan dengan segenap upaya kita rela melakukan apa pun demi pasangan kita asalkan dia tetap bersama kita. Tapi selama ini, toh, kita tak pernah menganggapnya sebagai perbudakan dalam percintaan. Karena sejak awal, pengorbanan itu juga penting. Dan juga, antara satu dan lainnya bisa saling menuntut dan memenuhi tuntutan percintaan itu sebagai bentuk kepuasaan dua manusia yang tengah menjalin ikatan percintaan.
Bahkan jika seandainya kita berada di posisi yang lebih rendah, dalam artian orang yang harus memuaskan dan memelihara orang yang disayanginya. Apakah itu masih dianggap sebagai budak cinta?
Seandainya orang tua kita sakit parah dan kita sebagai anaknya, sangat mencintai orang tua kita dan rela keluar dari pekerjaan demi menemani orang tua kita di rumah sakit? Apakah hal ini dianggap sebagai budak cinta?
Bayangkan, jika orang tua kita tidak memperbudak dirinya sendiri demi kecintaan akan anak-anaknya. Bekerja sangat keras. Mencari uang tanpa kenal lelah dan sakit. Apakah kita masih bisa hidup mewah, enak, nyaman, kecukupan, sekolah dan kuliah di tempat yang layak?
KAMU SEDANG MEMBACA
PSIKOLOGI & PSIKOTERAPI 2
Non-Fictionpsikologi & psikoterapi buku kedua. karena buku pertama sudah penuh. maka perlu membuat buku selanjutnya. menceritakan psikologi dan psikoterapi dan apa yang harus dilakukan dalam keseharian yang penuh beban, dan apa yang memberati perasaan dan pik...