KORONA: SEBELUM PERANG SAUDARA

332 20 3
                                    

Suasana jalanan begitu sunyi. Aku mengendarai sepeda motorku dalam kelengangan malam yang jarang terjadi. Di sisi kanan dan kiri, kegiatan manusia menjadi bisu. Rumah-rumah menutup dirinya. Begitu juga toko-toko dan tempat publik yang lain.

Aku tengah menuju swalayan kecil. Surga mungil yang akan bertahan entah berapa lama lagi.

Tak lama. Ya, tak lama lagi.

Membeli beras ukuran 5 kilo dua buah. Camilan ringan. Lalu kembali menghambur menuju kota yang menutup diri.

Merenungkan, kedamaian aneh ini sebentar lagi akan berakhir.

Satu atau dua minggu lagi, dan paling lambat akhir April. Tak akan ada lagi toko penyedia bahan pangan yang buka. Kecuali sedikit yang masih memberanikan diri. Depo-depo air minum tak lagi bisa ditemukan. Pasar-pasar yang biasanya masih terbuka oleh publik luas, akhirnya pun harus menyerah karena paksaan keras yang datang tanpa pandang mulu.

Mendadak saja, banyak orang yang awalnya tak melakukan persiapan dan meremehkan keadaan, menjadi terjebak. Tak memiliki apa pun yang bisa dimakan sehingga akan mudahnya menjalar pada kemarahan, kelaparan, dan keinginan membelas dendam dengan banyak alasan yang dibuat sendiri.

Tapi kebanyakan alasan yang selalu dipakai sangatlah kuno: bertahan hidup. Alasan yang lebih tepat disebut alibi.

Perlahan dengan pasti, pemerintah yang awalnya lunak dan terlihat baik itu. Yang kebingungan harus memilih kebijakan yang mana, antara menjadi sandra kekayaan dan kuasa orang-orang kaya berpengaruh. Atau bertindak tegas tanpa pandang bulu. Akhirnya terpaksa mengerahkan militernya.

Demi menstabilkan kekacauan. Demi menyelamatkan negara. Sebuah tindakan akhir dari kegagalan mengelola negara itu sendiri.

Rakyat-rakyat yang tak sadar diri, yang segalanya ingin cepat normal dan menolak kekurangan sehingga berilusi seharusnya tidak ada krisis. Menghambur keluar. Dengan memperalat kata "korban", "kelaparan", "tidak makan berbulan-bulan", hingga yang bernuansa agama dan kepentingan egoistik pribadi.

Lainnya lagi mungkin memang kekurangan dan benar-benar hampir berada dalam kelaparan dan mati. Sehingga sangat mudah untuk bersama-sama melakukan kerusuhan demi tetap bisa makan dan hidup.

Pada akhirnya, semua orang berdalihan untuk hidup. Dari mantan narapidana, mantan koruptor, pedagang, pengusaha, sampai orang kecil yang tak memiliki penghasilan apa pun lagi.

Wabah yang tadinya diremehkan. Tak segera diatasi. Terus dipelihara dengan cara menyimpan harta bendanya masing-masing. Menyerang dengan begitu cepat antar satu orang ke orang lainnya.

Dalam ketiadaan dukungan medis yang memadai, keburukan dalam memimpin negara, kekurangan logistik, negara tak banyak lagi memiliki uang untuk mensubsidi ratusan juta rakyat yang menolak diberi status menuju krisis panjang.

Sebuah negara dengan isi pejabat yang egoistik dan rakyat yang sama egoistiknya, akhirnya bentrok. Dalam perang saudara berskala kecil. Tak lagi ada Tuhan, tak lagi ada cinta, tak ada lagi empati dan kemanusiaan.

Yang ada adalah keinginan bertahan hidup dan meraih keuntungan di masa krisis 21. Yaitu, krisis terbesar Indonesia di abad 21.

Walau begitu, yang dihadapi negara bernama Indonesia hanyalah perang saudara berskala kecil. Dalam artian, perebutan sumber makanan dan air yang menimbulkan banyak konflik sosial yang disertai dengan kematian di berbagai pihak.

Satu kelompok masyarakat melawan satu kelompok masyarakat lainnya. Masyarakat melawan polisi dan TNI. Atau kelompok melawan perorangan sehingga menyebabkan kematian. Seperti perampokan, penjarahan, pembunuhan demi bertahan hidup, dan banyak lainnya.

PSIKOLOGI & PSIKOTERAPI 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang