Memandang takjub pucuk-pucuk pohon yang tinggi. Berjalan menengadah di belantara tetumbuhan hijau. Mendengarkan derak angin yang menyusup di antara ranting dan dedaunan. Itulah yang dirasakan seseorang yang kini merasa sedikit terbebaskan dari kota yang begitu pengap dan mencekik.
Sesekali memegangi binokularnya saat seekor atau sekawanan burung melintas dan hinggap di atas kepalanya. Atau, sudah cukup terpesona dengan tingkah para monyet dan ketukan berulang dari paruh burung pelatuk.
Rasanya, mendengarkan kicauan burung lebih damai dan tenang dari pada nyanyian seorang terkenal di ibu kota. Di tengah hamparan padang, menyaksikan berbagai binatang liar di sore hari rasanya lebih mendamaikan dari pada sebuah dunia yang berisikan hanya beton dan beton.
Saat kota menjadi terlalu kering, panas, dan begitu sulitnya untuk sekedar mengatur napas. Sebagian besar orang lari ke gunung, hutan, laut, danau, sungai, dan jalanan yang masih menyisakan aroma sawah, ladang, dan bermacam kehidupan yang lenyap dari kota yang terlalu megah untuk dirinya sendiri.
Seseorang yang kini sedang merasakan kedamaian baru di bawah kanopi pepohonan. Tersenyum puas akan keberadaan dirinya. Senyuman yang mungkin sulit didapatkannya saat terpenjara oleh dunia keseharian perkotaan.
Kota mengikis perasaan lembut manusia menjadi terlalu kasar untuk sekedar didekati. Itulah sebabnya, manusia harus keluar dari cangkang kotanya. Meninggalkan sejenak sebuah tempat yang mirip penjara besar kehidupan sehari-hari.
Hanya saja, sebagian besar manusia berlarian ke alam tanpa perasaan bijak dan lembut. Kesombongan dan keengganan untuk memahami sekitarnya, membuat segala rasa sakit dan tekanan akan terus berulang.
Hanya mereka yang mampu mengisi dirinya dengan kebijaksanaan, yang akan sedikit tersenyum saat sekembalinya ke kota.
Sedikit berdamai dengan diri sendiri. Memandang agak takjub apa-apa yang hari lalu adalah hal-hal yang biasa saja.
Terlalu banyak orang yang hidup di perkotaan melupa dan tak ingat akan nama-nama. Nama-nama arah. Nama-nama waktu. Nama-nama jalan. Nama-nama bangunan. Hingga, tak lagi bisa berucap dengan penuh kepercayaan, saat berbagai makhluk hidup ada di depan matanya.
Saat segala yang hidup dilupakan dan tak ingin dimengerti. Umat manusia mengurung dirinya dalam kota yang melepas ikatan-ikatan. Tidak hanya ikatan dengan sesamanya yang seringkali mudah pupus. Namun, ikatan akan berbagai kehidupan yang lain pun menjadi sederet kenangan aneh bagi pikiran masa depan.
Hari ini, anak-anak kecil mungkin tak lagi bisa mengenali para serangga. Mereka juga tak pernah tahu apa itu kelelawar dan burung-burung dalam dunia nyata. Segalanya berubah menjadi layar dan berkedip-kedip dalam kecepatan kilobite. Seolah-olah, alam liar sudah cukup ditaruh di dalam kamar dan perangkat kecil bernama gadget.
Karena itulah, bagi sebagian besar manusia hari ini, kelahiran adalah menuju pada melupa akan alam.
Banyak orang telah melupa, abai, dan tak lagi ingin mendekat kepada jalan setapak di tengah-tengah pepohonan atau jalan mengular menuju sebuah gunung yang bagaikan pasak dari masa lalu yang jauh. Tapi masih ada sebagian yang lain. Sebagian dari mereka yang tercekik oleh kota dan mengingat alam masa lalu sewaktu kecil. Atau sebagian dari kumpulan manusia yang baru saja menemukan alam. Setelah nyaris seumur hidupnya tak pernah satu kalipun melihat ladang dan sungai. Atau sekedar katak yang berkotek ribut di pinggiran kolam di sebuah pedesaan.
Bagi yang terakhir, penemuan akan kupu-kupu mungkin adalah perjumpaan paling mengesankan seumur hidupnya. Pertemuannya akan kunang-kunang di malam hari, bisa saja, akan menjadi kisah yang tak akan terlupakan. Burung-burung yang bernyanyi merdu dan kepak indah di antara mereka, membuat takjub seorang remaja atau dewasa muda, yang sejak lahir hingga saat ini, dunianya hanyalah berada di penjara besar dunia tanpa makhluk hidup kecuali manusia.
Saat dunia kehidupan di sekeliling menghilang dan tercerabut. Orang-orang tertentu mendirikan kebun binatang untuk memenjarakan sebagian besar binatang untuk kepuasan akan dunia yang dihapus di depan mata. Tatapan erat menuju ke dalam kerangkeng, adalah kenyataan yang menyakitkan bahwa kota yang begitu luas dan besar. Menjadikan seluruh yang hidup selain manusia berada di penjara binatang.
Kebun binatang adalah penjara untuk kesenangan manusia. Saat, mereka yang sakit dan tak peduli, tak ingin bertemu dengan para binatang di alamnya yang nyata. Kepuasan sudah cukup berada di dalam kota itu sendiri. Kepuasan memenjarakan semua kehidupan. Mungkin sebab itulah, manusia tak lagi ke mana-mana. Terjebak dalam jarak beberapa kilomer. Tak pernah keluar melewati batas; menuju sebuah dunia selain kota.
Keluar menuju alam. Mungkin hari ini dan kelak, hanya akan dimengerti oleh mereka yang benar-benar merasakan bahwa kota bukanlah benar-benar tempat yang membahagiakan untuk hidup.
Kota yang begitu kering, gaduh, sakit, kosong, gila, asing, dan hampa.
Sebuah tempat di mana manusia berkumpul dalam kesepakatan bersama menjadi budak bagi kehidupan mereka sendiri. Budak keseharian yang terpaksa hidup dan bernapas.
KAMU SEDANG MEMBACA
PSIKOLOGI & PSIKOTERAPI 2
Non-Fictionpsikologi & psikoterapi buku kedua. karena buku pertama sudah penuh. maka perlu membuat buku selanjutnya. menceritakan psikologi dan psikoterapi dan apa yang harus dilakukan dalam keseharian yang penuh beban, dan apa yang memberati perasaan dan pik...