Kota tak selalu menyenangkan. Saat semua yang diinginkan telah habis disesap. Kota berubah menjadi sepah. Hambar. Tak lagi menghibur dan bagi orang-orang tertentu, sangatlah membosankan.
Di sebuah kota yang membosankan. Banyak orang harus pandai mengelabui maut dan dirinya sendiri. Jika tidak, waktu yang maju dengan keengganan akan menyelusup hingga ke jantung. Menekan fungsi kehidupan. Merusak paru-paru.
Saat umat manusia terus bertambah dan kematian tak begitu pintar mengurangi jumlah umat manusia. Orang-orang dari pojok dan sudut, menuju titik dari pusat peradaban. Menuju kota. Detak segala yang diingini. Sewaktu layar televisi dan internet mengendapkan segala hasrat akan gedung pencakar langit, gemerlap lampu-lampu, keramaian cafe dan klub, berbagai mal yang tampak besar dan kesan mewah akan segala sesuatu.
Pertemuan berbagai hasrat manusia, menjelma tekanan. Dan sebuah kota, bagaikan sesosok yang mengawasi pertarungan antar keinginan itu.
Kelambanan telah berubah menjadi aib. Perbudakan dilembutkan dalam bentuk kerja. Waktu tidur pada akhirnya berubah menjadi imajinasi. Adakalanya, seekor cicak yang merayap di tembok rumah jauh lebih baik dari kehidupan manusia setiap harinya.
Sebuah kehidupan, yang tak pernah memiliki kebebasan selain ketertundukan dibawah tekanan dan aturan orang lain sepanjang sisa waktu. Burung hantu yang entah karena apa masih tersisa di alam bebas, mungkin akan menggelengkan kepalanya. Sedangkan para kucing lebih tahu caranya bermalas-malasan dan menikmati hidup.
Manusia, seperempatan abad hidupnya berada di bawah tekanan aturan-aturan pendidikan. Setelah itu mengikuti hal yang serupa setelah bekerja dalam kelelahan dan akhirnya menikah untuk menyelamatkan sisa dari kehidupan yang bodoh.
Seandainya sebuah kota mampu tertawa. Kota itu mungkin akan tertawa sampai mengeluarkan air mata setelah melihat sejarah panjang kehidupan manusia dari abad ke abad.
Para semut mungkin juga tertawa. Begitu juga batu-batu. Pepohonan. Dan baju yang dikenakan manusia setiap harinya.
Bagi seseorang yang sedikit sadar akan sejarah semacam itu. Dia mungkin layaknya hantu yang bergentayangan di sebuah kota yang tak lagi menawarkan apa pun.
Memaki dirinya sendiri. Mengumpat terhadap apa pun yang dilihat dan ditemuinya.
Musik yang mati. Orang-orang yang hambar. Percakapan yang terlalu lambat dan membuat sakit kepala. Ruang-ruang intelektual yang begitu muram dan menyedihkan. Hati yang saling mengeras. Manusia-manusia sakit jiwa. Kemewahan yang sebentar saja menyenangkan. Keseharian yang sekedar ulangan dan ulangan. Kerja, kerja, dan selalu kerja.
Lalu, hidup sekedar melanjutkan hidup.
Kota mungkin tahu bahwa sebagian umat manusia telah bosan dengan kesehariannya. Bosan terhadap apa-apa yang dimiliki dan ditawarkan oleh sebuah kota yang tak lagi melembutkan segala yang mengeras.
Seseorang yang tak lagi bisa bertahan di acara-acara musik, galeri kesenian, dan tak sanggup merasakan gairah di di restoran mewah yang terkemuka. Akan mencari apa pun untuk meredam sakit kepalanya. Sakit yang lahir dari kebosanan yang akut. Keadaaan yang menyengsarakan melebihi apa pun.
Dia mungkin telah mengelilingi berbagai dunia dan memasuki berbagai macam tempat. Toh pada akhirnya, dia harus kembali ke kota. Sisa tingkah laku pedesaaan, suku-suku yang jauh, bau alam liar yang bagaikan masih melekat di kulit, dan berbagai macam kehidupan lainnya yang awalnya cukup menggairahkan. Kini, kembali lagi menjadi putaran kebosanan tanpa ujung.
Kota menjadi manusia sekedar lingkaran. Hingga suatu nanti, seseorang memutuskan untuk pergi selamanya. Keluar dari pekerjaannya. Menjual seluruh aset yang dimilikinya. Mengucapkan selamat tinggal pada kehidupan kota yang membuatnya sakit dan tak beranjak ke mana-mana.
Dia mungkin cukup puas dengan kehidupan baru. Bisa merasakan sedikit gairah hidup yang telah lama hilang dari gerak lakunya. Hanya saja, orang lainnya mungkin tak betah berada di dunia yang terpencil dan masih berharap bahwa kota yang ada di dunia ini masih bisa memenuhi kebutuhan jiwa dan pikirannya.
Namun, jika itu tak terjadi, kebosanan yang menumpuk bisa menuju pada kegilaan. Membunuh orang lain. Atau membunuh diri sendiri.
Itulah sebabnya, di sebuah kota besar maupun kecil. Orang-orang begitu pandai memotong nuraninya. Begitu terbiasanya mengabaikan penderitaan orang lain. Sangat mudah meluapkan amarah dan terlalu cepat mengolah dendam.
Di sebuah kota di mana kebosanan menjadi terlalu berkuasa. Masa depan manusia berada di persimpangan. Menuju jurang tanpa masa lalu. Menghampiri mereka yang terlalu cepat menelan masa depan. Sehingga, segala yang mungkin berisikan ketidakpastian dan luka.
Di sebuah gang pada siang hari. Seorang anak manusia berjalan gontai sambil mendengarkan lagu yang berdentang di telinganya. Matanya sayu. Bibirnya terlalu kecil dan rapat. Suara kedua kakinya terdengar menggores kerikil dan batu paving yang dipijaknya. Matanya memandang lurus ke depan. Pada segala entah.
Dia mungkin salah satu dari sekian banyak manusia yang sudah bosan dengan kota yang ditinggalinya. Tapi tak kuasa untuk pergi. Sampai akhirnya, kebosanan pun menelan dirinya.
Kota dan manusia yang ada di dalamnya pun berubah menjadi sama-sama membosankannya.
Seseorang itu berdecak. Menempelkan jemarinya di permukaan pagar baja. Berjalan, berbelok, melewati gang demi gang.
Seperti kehidupan yang setiap hari dijalani. Menghindari kebosanan yang sama. Di sebuah kota yang membosankan.
KAMU SEDANG MEMBACA
PSIKOLOGI & PSIKOTERAPI 2
Non-Fictionpsikologi & psikoterapi buku kedua. karena buku pertama sudah penuh. maka perlu membuat buku selanjutnya. menceritakan psikologi dan psikoterapi dan apa yang harus dilakukan dalam keseharian yang penuh beban, dan apa yang memberati perasaan dan pik...