Malam membawa sesosok ringkih itu berjalan tak tentu arah. Mencoba sedikit menghibur ketidakmenentuan hidupnya selama ini. Berjalan pelan sambil menatap langit yang tak terasa, menjadi begitu puitis dan lembut.
Kakinya berjuang menahan tubuhnya yang memiliki rasa. Berkali-kali ia memandangi sekitar. Tapi kota yang cukup lama dikenalnya itu, menghadirkan kerapuhan yang menatap langsung ke matanya yang begitu dalam dan hanyut. Hingga akhirnya, di sebuah jalan yang melewati pasar yang sedikit remang dan berbau sampah. Ia melihat kenyataan kota dalam keramaiannya yang bisu. Kenyataan yang selalu ia lihat selama bertahun-tahun. Kenyataan dari tawa riang dari kota yang ditinggalinya.
Ditatapnya tubuh tua yang teronggok itu. Mayat hidup yang bernapas. Sebuah. Lalu menjadi dua, tiga, empat, dan hitungan yang semakin menyakitkan bagi masa lalunya.
Kota itu, tak hanya menelan perasaan orang-orang yang berpura-pura bahagia dalam segala kemewahannya. Tapi, bagi manusia yang tak lagi manusia, seonggok rongsokan yang bergentayangan di bawah atap langit kota orang-orang sakit. Kota yang penuh terang lampu hanyalah kegelapan sempurna bagi mereka dalam setiap harinya.
Ia menatap cukup lama tubuh yang tertidur itu. Dalam malam yang begitu menyakitkan. Berbaju dingin dalam ketenangan yang begitu aneh. Ia tersenyum pada dirinya sendiri.
Nyaris saja ia terbahak. Menyadari ulang keberadaannya sendiri. Kemanusiaan yang sudah tak lagi membekas. Perasaan kosong akan segala keinginan untuk menolong. Ia tahu, ia hanyalah sekedar robot yang hidup dalam daging yang mudah sobek.
Ketika melangkah untuk pergi, ia memandangi seorang lainnya tengah mengaduk-aduk sampah saat para pemuda sedang bersuka cita dalam kebudayaan dan peradaban mereka yang tak jauh dari tempatnya sekarang berada. Ia hanya kembali tersenyum, melihat sisi lain yang selalu dilihatnya setiap hari. Sisi lain yang pernah membuatnya remuk dan sakit. Sampai akhirnya ia menyerah. Meninggalkan hatinya berubah menjadi tanpa rumah dan terlantar di suatu tempat yang jauh.
Di sudut-sudut keramaian kota yang begitu penuh dengan keriangan dan suka cita. Di sebuah gang kecil dan tempat-tempat gelap yang tak terlindungi. Beberapa orang menata hidupnya dalam keterasingan. Dalan gerak kematian yang masih hidup. Keberadaan yang tak ada. Mendegupkan kota yang menerkam tulang-tulang yang terlalu tua untuk berada di pinggiran jalan.
Kadang, mereka yang hidup tanpa sebuah rumah di tengah kebaikan tak berwujud yang ditawarkan setiap harinya di universitas-universitas. Menyadari kota hanyalah rasa iba dari napas yang sebentar lagi menjemput.
Kematian dari segala yang baik. Yang disadari seseorang itu, saat langkah kakinya menggema di tengah malam yang menjelang pagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
PSIKOLOGI & PSIKOTERAPI 2
Non-Fictionpsikologi & psikoterapi buku kedua. karena buku pertama sudah penuh. maka perlu membuat buku selanjutnya. menceritakan psikologi dan psikoterapi dan apa yang harus dilakukan dalam keseharian yang penuh beban, dan apa yang memberati perasaan dan pik...