SAWAH: PERJALANAN KAKI

240 10 0
                                    

Aku menginjakkan kedua kakiku di pematang sawah yang terlihat putih dengan berbagai jenis tetumbuhan merambat dan rerumputan yang terlihat hijau dan begitu subur. Menguasai begitu banyak tempat, di atas tanah putih yang retak oleh kemarau panjang.

Berbagai kehidupan ada di sekelilingku. Di depan mataku. Di bawah kakiku. Di sebelah kiri, kanan, belakang, bahkan di berbagai sisi sudut arah.

Setelah bosan dengan suasana kota yang rasanya kian membuat aku sakit. Pagi ini, di bawah langit yang mana matahari belum memancarkan kehadirannya. Aku berjalan perlahan melewati berbagai macam pepohonan dari mulai jati hingga serumpun pisang yang tampak berbuah.

Berbatasan dengan pematang sawah dan hampir tepat di bawah rumpun pisang, terdapat aliran air berwarna kehitaman dan keruh yang ditumbuhi oleh lumut dan beragam jenis tumbuhan air. Aku menemukan berbagai macam ikan kecil yang memenuhi aliran air yang tak seberapa itu. Aliran air yang nyaris tenang dan seolah tak bergerak. Hampir bisa diabaikan oleh tatapan mata yang hanya memandang sekilas tapi ternyata menyimpan banyak kehidupan di dalamnya.

Kini, kedua kakiku berada di pematang sawah yang jika aku lihat dengan perasaanku yang lain, terasa berdiri di atas karya seni yang sangat indah. Terdapat rumput peking yang juga dikenal sebagai rumput jenis agrostis yang begitu lebat dan beberapa terlihat terkulai kecokelatan di tanah karena terinjak oleh kaki. Lalu ada juga rumput gerinting, yang daunnya terlihat layaknya padi. Begitu banyak. Berebut tanah dan ruang dengan rumput teki yang seolah kemarau panjang tidak membuat rumput jenis ini kehilangan kehijauannya sama sekali.

Hanya satu pijakan kaki saja, banyak hal yang aku tak tahu. Mungkin, aku salah mengidentifikasi berbagai rumput yang kadang mirip. Seandainya tanaman padi yang baru ditanam tidak menempati tempat khusus dan ditanam dengan rapi, teratur, berjarak, dan terdapat genangan air yang ditumbuhi oleh lumut. Aku mungkin juga tidak akan mengenali padi yang juga masih termasuk dalam kategori rumput. Terlebih saat yang ada di bagian sisi timur adalah sebidang tanah yang sudah dipanen dan sekarang tengah berdesakan berbagai jenis rumput, paku-pakuan, dan banyak jenis tetumbuhan lainnya yang memenuhi tanah.

Aku kembali melangkah dan melihat begitu sepinya sawah yang aku masuki dari kehidupan selain tetumbuhan dan burung walet. Sekilas memang itulah yang ada di depan mata. Bahkan bagi sebagian mata, tetumbuhan kadang dianggap sebagai bukan bentuk dari kehidupan.

Tak ada capung yang dulu begitu banyaknya. Tak ada kupu-kupu yang terbang pelan dan gemulai. Tak ada kumbang yang biasanya memenuhi kisaran sawah. Tak ada belalang yang berterbangan tak tentu arah saat langkah kaki menjejak ke tanah. Bahkan tak ada burung pipit yang dahulu pernah memenuhi hampir semua sawah yang ada. Dalam sekilas pandang, segalanya yang pernah ada, menghilang.

Segalanya menjadi lebih kosong dari pada dahulu kala. Jika gulma padi adalah parasit. Mungkin, manusia adalah parasit bagi banyak kehidupan lainnya.

Saat para serangga dan berbagai jenis burung tidak sanggup bertahan hidup dari dunia manusia dan sawah yang disebar berbagai macam racun pembunuh berupa pupuk dan bermacam bahan kimia pembunuh lainnya. Rumput dan banyak tumbuhan kecil, bertahan hidup dan tegar menantang segala jenis pemusnahan massal yang dilakukan manusia selama berabad-abad.

Jika dipikirkan sejanak secara dalam. Rumput yang ada di bawah kakiku, yang keberadaannya nyaris tak berati ini. Termasuk salah satu bentuk kehidupan yang sangat mengagumkan dan bagaikan menolak untuk musnah di tangan manusia.

Kemampuan rumput untuk bertahan hidup sangatlah mengagumkan. Sayangnya, hal itu tidak bisa dilakukan oleh para bintang yang tidak bisa berbiak dan berkembang dengan begitu sangat cepatnya. Sehingga kepunahan para binatang jauh lebih mudah daripada mereka yang termasuk dalam kategori tetumbuhan.

Mungkin contoh nyata yang paling jelas dari kehidupan yang menghilang dari sawah adalah keberadaan katak-katak yang biasanya begitu sangat umum. Beberapa hari yang lalu, aku sempat mendengarkan suara katak di malam hari di tempat ini. Tapi saat kembali menjejakkan kaki di tengah malam buta, tepat di tengah-tengah sawah yang gelap gulita. Aku sama sekali tak mendengar satu pun suara kotek katak yang khas itu. Begitu juga pagi ini. Tak ada pun katak yang mampu mataku tangkap.

Dalam kemarau panjang, para katak biasnya mengubur dirinya sendiri dan berada dalam keadaan hibernasi. Mungkin, inilah yang menyebabkan aku tak melihat satu pun katak atau kodok yang berlompatan atau berjalan di bawah kedua kaki. Suara katak di malam-malam yang lalu, mungkin adalah pengecualian tersendiri.

Hal yang menarik dari melangkahkan kaki di sawah yang diapit oleh pemukiman penduduk dan jalan raya di malam hari adalah ketiadaannya suara jangkrik dan binatang malam yang begitu meriah. Suara jangkrik yang aku dengar begitu lemah, sayup, dan terlampau sedikit. Jangkrik-jangkrik yang memiliki suara yang kencang dan nyaris tak terputus, seolah lenyap atau mengundurkan diri dari dunia. Malah, yang aku dapatkan adalah suara tokek yang bagaikan menggema di malam buta dan saling menyaut.

Walaupun begitu, masih adanya suara tokek di malam buta di abad ini, rasanya benar-benar semacam keajaiban. Tidak hanya tokek. Sekedar melihat cicak saja rasanya adalah hal yang semakin langka dan susah dilihat. Kadang aku berpikir, apakah orang-orang beragama di dunia ini begitu sangat membenci kehidupan lain selain dirinya sendiri? Jika masyarakat beragama malah membuat begitu banyaknya kehidupan lainnya musnah. Mungkin, akan sangat lebih baik jika tidak ada agama sama sekali. Hanya saja, para ateis di negara ini, sama saja dengan orang-orang beragama kebanyakan jika menyangkut lingkungan hidup.

Sangat menyedihkan saat suara adzan berkumandang di mana-mana. Suara para burung lenyap dari seluruh cakrawala. Atau saat dentang lonceng gereja memanggil para jemaatnya. Yang terdengar hanyalah suara pujiaan Tuhan yang memusnahkan begitu banyak jenis kehidupan tanpa orang merasa sakit dan marah.

Tapi saat ini, aku sedang tak peduli akan hal itu. Pagi hari ini, perasaanku begitu sangat tenang dan halus. Aku kembali melangkahkan kedua kakiku setelah menikmati keindahan seni yang ada di mana-mana ini. Pameran seni terbesar tanpa adanya ruang galeri dan seorang kurator. Dunia yang diabaikan dan tak dianggap oleh para kolektor seni dan bahkan pecinta sendiri itu sendiri. Alam yang lebih realis, absurd, abstrak, dan mewakili begitu banyaknya aliran seni tapi tak pernah dibicarakan secara serius ini, begitu memikatku.

Mungkin kata seni sendiri adalah bermasalah jika menyangkut alam. Tapi aku sendiri tak terlalu juga peduli. Karena hanya sekedar melangkahkan kaki dalam jarak yang begitu dekat dan pendek. Banyak kehidupan dan keindahan yang tersedia di depanku seketika.

Catatan: belum selesai dan terlanjur diklik publish secara tak sengaja. Tulisan ini masih cukup panjang nantinya. Jika kamu tertarik, nanti malam atau besok bisa menikmati seluruh isinya yang lebih utuh.



PSIKOLOGI & PSIKOTERAPI 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang