28. Liar

2.3K 144 24
                                    

Marshell terkejut sekaligus menatap nanar sebuah cicin yang baru saja di terimanya. Lalu berusaha kuat mendongak untuk menatap wanita yang kini duduk di hadapannya. Duduk dengan senyum manisnya yang selalu mampu membuatnya terpana. Wanita yang satu tahun lebih tengah mengisi hari-harinya. Cinta pertamanya, juga wanita yang mungkin ia harapkan menjadi masa depan baginya. Harapan yang kini harus Marshell kubur dalam-dalan karena wanita itu memilih untuk mengakhiri hubungan mereka.

"Sejak kapan?" Tanya Marshell tercekat. Tak menyangka dengan sebuah fakta yang baru saja Meisya ungkap padanya. Satu fakta yang tak bisa Marshell hindari.

"Tiga bulan lalu. Waktu aku-"

Marshell terkejut bukan main. Dia menatap Meisya tak percaya. Melupakan jika kini mereka tengah berada di restoran yang cukup banyak pengunjung. Hampir saja Marshell bangkit dari duduknya jika Meisya tidak segera menggenggam tangannya di atas meja.

"Kenapa kamu nggak bilang?" Menatap Meisya pasrah dan penuh penyesalan.

Meisya tersenyum lembut. "Karena aku ngerti kenapa kamu seperti itu. Aku nggak bisa nyalahin kamu, di saat aku sadar siapa-"

"Meisya." Sela Marshell lembut. Dia tidak ingin mendengar wanita ini merendahkan dirinya.

"Nggak apa-apa. Kamu nggak salah sepenuhnya di sini. Aku ngerti dan kamu pantes buat bahagia di banding nunggu perempuan kayak aku. Lagian, aku juga mulai nggak tahu gimana cara menangin hati mama kamu." Meisya tersenyum lagi seraya mengusap lembut punggung tangan Marshell.

"Jaga dia baik-baik. Coba ajak ke rumah. Siapa tahu mama suka."

Kepala Marshell tertunduk. Dia tidak mengerti kenapa justru dia yang hancur di sini. Padahal jelas-jelas dia yang selingkuh di belakang Meisya selama ini. Tapi, sikap santai Meisya membuat Marshell semakin sadar jika Meisya tidak pernah benar-benar mencintainya. Karena itulah Marshell merasa terluka.

"Kenapa?" tanya Marshell membalas genggaman tangan Meisya. Seakan tidak ingin membiarkan wanita itu lepas darinya.

"Kenapa sangat mudah buat kamu pergi dari aku?" Tatapan Marshell menajam. "Apa selama ini kamu memang cuma mainin perasaan aku? Kamu nggak bener-bener cinta sama aku dan manfaatin hubungan kita supaya kamu bisa tetap deketin Rio. Adik aku. Mantan suami kamu?"

Meisya menatap tak percaya dengan apa yang Marshell tuduhkan padanya. Oke, mungkin memang ada saat di mana Meisya ragu akan perasaannya. Ada saat di mana Meisya merindukan Marco. Lalu pikirannya tertuju pada sosok Rio yang menyelamatkan hidupnya. Semua itu terlalu rumit Meisya rasakan. Tapi, bukan berarti Meisya tidak benar-benar berusaha untuk bisa mencintai Marshell. Selama ini Meisya berusaha selalu berusaha sampai kemudian ia tak sengaja melihat Marshell bersama seorang wanita. Di saat itulah, kepercayaan Meisya pupus. Belum lagi penolakan dan juga hinaan mama Marshell yang membuat Meisya semakin rendah diri. Saat-saat itulah Meisya mulai kembali merindukan Marco. Merindukan Rio yang meskipun bersikap dingin tapi Meisya selalu merasa di hargai olehnya. Selain itu, Marsya yang masih sangat membutuhkan Rio membuat Meisya semakin tak tahu harus berbuat apa. Dia putus asa. Dan di tengah rasa putus asanya itulah, Meisya hanya berusaha ingin mendapatkan kebahagiaan untuk putrinya kecilnya. Meisya tak lagi memikirkan dirinya dan berusaha berpikir bagaimana caranya agar Marsya tidak mengalami hal yang sama seperti dirinya. Karena sungguh, hanya Marsya hidup Meisya saat ini.

"Kalau itu yang ada di pikiran kamu apa boleh buat. Nggak apa-apa. Aku emang perempuan jahat yang nggak pantes duduk di sini sama kamu." Meisya bangkit lalu berjalan keluar. Menyembunyikan wajahnya yang mulai memerah menahan tangis. Tentu saja Meisya ingin menangis. Biar bagaimanapun, rasa itu tetap ada untuk Marshell. Banyak kenangan yamg sudah mereka lewati. Tidak mudah juga bagi Meisya untuk melupakan apa yang terjadi di antara mereka.

MARIOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang