54. Guilty

1.3K 143 31
                                    

Setelah tidak lagi melihat keberadaan Cakka di tempat ini, Deva memutar tubuhnya menghadap Ify. Saat itu juga hati Deva serasa teriris melihat luka di leher Ify yang berdarah. Deva lantas berjalan sambil melepas kemeja luarnya. Sehingga menyisakan kaos putih polos yang membungkus tubuhnya.

Deva berjalan tanpa melepas Ify yang kini juga menatapnya. Tatapan Ify tak bisa Deva baca. Entah itu kemarahan, kekecewaan, kebencian atau bahkan kesedihan. Dari semua itu, Deva lebih memilih Ify marah padanya saat ini. Karena Deva tidak suka melihat Ify sedih atau kecewa. Deva juga tidak sanggup jika harus menerima kebencian Ify.

Deva menyobek bagian bawah kemejanya sambil berlutut di depan Ify yang masih duduk. Lalu ia gunakan untuk menutup luka Ify agar darahnya berhenti mengalir. Setelah selesai, Deva melepas ikatan tali di tangan dan kaki Ify.

"Sakit?" Tanya Deva melihat kedua pergelangan tangan Ify memerah. Bekas ikatan itu terlihat jelas di sana.

"Lo sendiri?" Ify reflek menyentuh pipi Deva yang memar.

Deva tersenyum samar. Membiarkan Ify menyentuh lukanya meski itu menciptakan rasa nyeri di sana.

"Lumayan." Kata Deva menatap Ify dalam. Sementara Ify langsung mengedarkan pandangannya mencari sesuatu.

"Handphone gue." Lirih Ify melihat ponselnya hancur akibat di injak Cakka tadi. Niatnya yang ingin langsung menelpon Rio gagal sudah.

Deva berdiri lalu berjalan menyusul Ify yang tadi berlari mengambil ponselnya yang mungkin sudah rusak.

"Suami lo kaya. Nggak usah kelihatan kek orang susah gitu." Cibir Deva bermaksud menghibur.

Ify menoleh pada Deva sambil menahan tangis. "Lo nggak tahu apa ini tuh handphone ayah yang beliin." Ify niatnya ingin membentak Deva karena kesal. Namun Ify justru melirih karena tak bisa lagi menahan isakannya. Sambil memeluk ponsel yang sangat berharga bagi Ify.

"Iya sory, gue nggak tahu."

Deva meringis seraya menggaruk pelipisnya bingung. Bingung harus berbuat apa untuk membuat Ify tenang. Jujur, Deva sekarang berusaha mati-matian untuk bersikap biasa saja. Ify sudah mengetahui semua perasannya. Dan itu, membuat Deva canggung sekaligus salah tingkah sendiri. Terlebih, Ify sudah menikah. Tidak ada lagi alasan bagi Deva untuk menanyakan bagaimana pendapat Ify tentang perasaannya.

"Deva."

Panggilan yang super tiba-tiba itu membuat Deva menghela pelan karena kaget. "Iya," tanggapnya kemudian.

"Boleh gue lupain semua yang Cakka bilang tadi?" Ify mendongak menatap Deva.

Deva terdiam sebentar. Memberi kesempatan hatinya untuk merasakan sesak itu sendiri. Deva tahu inilah yang pasti terjadi. Sangat tahu. Tapi, Deva tidak menyangka jika hal yang sudah dia prediksikan pasti terjadi, tetap membuatnya tak berdaya seperti ini.

"Iya. Emang harus lo lupain." Jawab Deva berusaha menampilkan senyum yang sulit sekali dia lakukan.

"Maaf ya, Deva."

"Hm?" Deva mengerut bingung harus merespon apa. Menarik bibir Ify untuk tersenyum tipis.

"Makasih juga buat semua yang udah lo lakuin buat gue. Dan maaf banget kalau ternyata selama ini gue bikin lo terluka tanpa gue sadari." Ify menunduk menatap ujung sepatu converse-nya. Tak berani melihat ekspresi Deva yang kecewa karenanya.

Deva menggeleng pelan. Hal yang tidak Deva sukai sekaligus ia kagumi dari Ify. Sejak dulu Ify selalu lebih mementingkan orang terdekatnya di banding dirinya sendiri. Meski terlihat keras, kasar dan jutek tapi Ify tidak mudah menyalahkan orang yang dia sayangi. Lebih terkesan selalu menyalahkan dirinya sendiri. Hal inilah yang membuat Deva ingin selalu melindungi Ify. Membuat perasaan yang lambat laun tumbuh semakin kuat tanpa dia sadari.

MARIOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang