32. Not Confidence

2.1K 163 29
                                    

Ify berdiri mengantri di salah satu stand makanan yang ia inginkan. Sambil berusaha meredam detak jantungnya yang belum bisa tenang juga. Bagaimana bisa tenang jika mengingat apa yang dia lakukan sebelum berlari hingga sampai di tempat ini. Kantin rumah sakit tampak cukup ramai. Banyak orang dan juga dokter yang ternyata mengisi perutnya di sini.  Ah sudahlah! Kenapa Ify jadi bahas kantin sekarang.

"Tenang, Fy. Tenang anggap nggak ada apa-apa toh cuma nempel doang tadi." Gumam Ify pelan. Di akhir kalimat ia langsung merapatkan bibirnya sendiri. Kemudian tangan kananya terangkat dan menempelkan jari telunjuknya di sana. Sekelebat ingatan ketika dia mencium Rio pun muncul. Membuat Ify reflek menutup kedua matanya. Untung saja Ify menahan diri untuk tidak berteriak.

"Ish! Sekarang Rio gimana, ya? Marah nggak, sih?" Memikirkan itu membuat Ify pusing dan menutup wajahnya dengan kedua tangan. Entah kenapa ada hawa panas menerpa wajahnya saat ini. Jelas saja Ify malu! Pasti malu! Apalagi nanti jika bertemu Rio. Ify tak tahu mau di taruh di mana mukanya?

Ify lantas menggeleng tegas. Pikiran lain merasuki isi kepalanya lagi. "Harusnya seneng dong di cium pacar masa marah. Hem, kalau marah, fix dia nggak sayang sama gue lagi." Ify tanpa sadar menghentakkan kakinya. Terlalu khitmad dalam ngedumel sendiri sampai lupa dia berada di mana saat ini. Untung saja semua orang sibuk dengan urusannya masing-masing. Sehingga tak ada yang terlalu fokus memperhatikan tingkahnya.

"Eh Ndin, gimana Rio?"

Ify kontan mengedarkan pandangannya mencari sumber suara.

"Gimana apanya?"

Ify semakin penasaran karena dia merasa tidak asing dengan pemilik suara kedua.

"Ya keadaannyalah. Emang apa lagi?"

Terdengar kekehan. Dan karena tawa itulah Ify bisa menemukan keberadaan mereka. Tepat di belakangnya yang ternyata ada dua orang cewek memakai jas putih ikut mengantri juga dengannya. Yang satu jelas Andin. Sedang satunya yang berdiri di belakangnya dengan jarak satu orang, Ify tak tahu namanya. Oh ya, Andin berdiri di belakang temannya itu.

"Udah lumayan membaik sih."

"Syukurlah kalau gitu. Tapi, lo sedih dong karena pangeran impian lo sejak SMA itu bakal nggak di rumah sakit ini lagi."

Ify mendengus. Benar, kan? Feelingnya tidak salah, kan? Dokter itu pasti ada rasa sama Rio. Gini nih resiko punya pacar ganteng pasti harus siap untuk beramal. Maksudnya mau tak mau Ify harus terima jika ketampanan Rio menjadi pemandangan segar untuk wanita lain. Kok Ify jadi kesal ya memikirkan hal itu. Kira-kira sudah berapa perempuan yang diam-diam menyukai calon suaminya? Eh Rio masih calon suaminya, kan?

"Apaan sih, La."

"Tapi serius Ndin. Lo nggak ada apa gitu niatan buat usaha ngedeketin dia. Ini tuh kesempatan bagus tahu. Apalagi bokap lo sama bokap Rio kan sohiban."

"Nggak segampang itu. Lo tahu sendiri Rio dingin plus cueknya kayak gimana."

"Iya juga sih. Tapi ya, masa iya Rio nggak ngeh sama sekali kalau dari dulu lo diam-diam suka sama tuh kutub! Kalian kan sering belajar bareng di perpus."

Telinga Ify semakin ingin bekerja. Dan sebisa mungkin Ify menajamkan pendengarannya.

"Udahlah jangan bahas dia lagi. Lagian dia udah punya cewek juga."

Ify tersenyum bangga. 'Iya nih gue ceweknya.' Sahutnya dalam hati.

"Halah pacar doang. Tikung aja. Nggak dosa ini. Belum nikah kan mereka? Lagian emang ceweknya kayak gimana sih? Lebih cantik dari lo? Lebih kaya dari lo? Lebih pinter dari lo? Orang tuanya punya perusahaan apa?"

MARIOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang