Terlihat seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun tengah duduk termenung di bangku taman. Anak laki-laki itu menatap kosong rumput yang kini menjadi pijakannya. Entah apa yang dia pikirkan. Tak ada yang bisa menebak karena sedikitpun wajah anak laki-laki itu hanya menunjukkan ekspresi datarnya.
"Mario."
Mendengar namanya di panggil, anak laki-laki itu hanya bergumam pelan tanpa menatap sosok yang kini sudah duduk di sampingnya.
"Coba lihat."
Rio enggan bergerak dan masih menunduk. Tak ingin menunjukkan wajahnya pada siapapun. Terlebih pada gadis yang duduk di sampingnya. Gadis berusia tiga tahun lebih tua darinya. Gadis yang selalu peduli padanya. Dan satu-satunya teman yang Rio punya di komplek perumahan ini.
"Nanti infeksi kalau nggak di obatin." Katanya lagi. Tapi tetap tak mendapat respon apapun dari anak laki-laki itu.
"Yo."
"Akh!" Reflek Rio melirih kesakitan saat bahunya di sentuh. Rintihan Rio membuat gadis itu kaget dan reflek menarik sedikit kerah baju Rio. Kedua matanya sontak membulat kaget. Bersamaan dengan hatinya yang teriris melihat keadaan anak laki-laki di hadapannya ini. Dia benar-benar tidak tega melihat keadaan Rio.
"Maaf." Cicitnya saat sadar Rio menarik kerahnya dan menutup lagi bahunya yang penuh luka.
"Kenapa diem aja?" Tanya gadis itu. Dia merasa sedih dan juga tidak terima melihat keadaan Rio.
"Kenapa kamu diem aja? Harusnya kamu ngelawan, Rio."
"Dia papa aku." Sahut Rio pelan.
Gadis itu menarik nafas panjang. Guna meredakan emosinya. Tapi tetap saja dia tidak bisa tenang saat mengetahui apa yang selama ini Rio alami.
"Mana bisa orang kayak gitu kamu sebut papa. Ini udah keterlaluan namanya."
"Aku yang salah."
"Nggak!" Gadis itu menyentak. "Kamu sama sekali nggak salah! Mereka yang salah! Please Yo kamu jangan terus-terusan pasrah kayak gini. Lama-lama kamu bisa mati karena di pukuli terus sama orang itu!"
"Nggak apa-apa." Jawab Rio seakan sudah menunggu hal itu akan terjadi.
"Rio!" pekik gadis itu frustasi. Membuat Rio mendongak lalu menatap tenang gadis yang kini menangis karenanya. Jujur, Rio tidak suka di tatap dengan penuh rasa kasian seperti ini.
"Nggak apa-apa, Mei. Aku baik-baik aja kok." Kata Rio menenangkan.
"Oke. Aku obatin luka kamu." Putus gadis itu seraya membuka kotak p3k yang tadi di bawanya dari rumah.
Rio mengangguk dan membiarkan gadis yang ia kenal bernama Meisya ini mengobati luka memar di wajahnya. Meisya adalah tetangga Rio. Rumahnya tepat di sebelah rumah Rio. Sangat dekat sehingga apa yang terjadi di rumahnya Meisya selalu tahu. Karena kebetulan letak rumah keduanya berada di ujung komplek yang cukup jauh dari rumah lainnya. Meisya tinggal seorang diri karena kedua orang tuanya sibuk bekerja. Dan karena itu Meisya selalu mengikuti Rio ketika melihat Rio keluar rumah. Meski hanya berjalan keliling komplek Meisya cukup terhibur dan tidak merasa kesepian. Meski ocehannya hanya di tanggapi Rio dengan wajah datarnya. Tapi Meisya tidak masalah karena itu sudah lebih dari cukup untuk menunjukkan dia tidak sendiri.
❤❤❤❤❤❤
Awalnya Ify kesal setengah mati karena Rio tidak menepati apa yang di katakan. Tidak memberinya alasan kenapa tidak bisa datang dan bahkan tidak bisa di hubungi. Seharian penuh Ify menunggu Rio di rumah. Ify juga menolak ajakan Shilla untuk pergi keluar karena takut jika saja tiba-tiba Rio datang. Sebagaimana pemuda itu yang selalu bertingkah seenaknya. Ify tak berhentinya menyumpahi pemuda itu. Bersumpah tidak akan mau jika Rio memintanya bertemu setelah ini. Bertekad ingin mengganti nomor supaya Rio tidak bisa menghubunginya.
KAMU SEDANG MEMBACA
MARIO
RomanceRomance (21+) Sudah satu tahun lebih Gify Anastasya menjadi kekasih seorang CEO muda nan rupawan bernama Mario Dwi Saputra. Keduanya memiliki sifat yang bertolak belakang. Namun, tekadang karena itulah hubungan keduanya menjadi terasa bisa saling me...