19. Distance

2K 198 60
                                    

Mas Rio

Mas gak dateng ya dek

Itu adalah pesan terakhir Rio semalam. Ify tidak membalasnya. Tak ada keinginan juga Ify membalas. Tidak ingin menunjukkan rasa kesalnya, marahnya, sakitnya juga kecewanya. Ify membiarkan saja Rio melakukan apapun yang dia mau. Ify tidak ingin merajuk lagi, meminta perhatian lagi. Terserah! Ify sudah bertekad untuk tidak peduli. Jika Rio ingin menunggu. Ya, Ify akan menunggu sampai Rio menceritakan apa hubungannya dengan Meisya. Ify berusaha untuk tidak menambah rasa penasaran yang berujung pada luka di hatinya.

Setelah melihat Meisya keluar dari apartemen Rio siang kemarin, Ify kembali masuk ke dalam lift sebelum Meisya melihatnya. Walaupun rasa ingin tahunya besar sekali, tapi Ify tidak ingin menghadapi Meisya di tengah perasaannya yang benar-benar berantakan. Ify bahkan sekuat tenaga menahan air matanya agar tidak mengalir. Menahan mati-matian agar isakannya tidak tumpah.

"Adek." Panggilan bernada menggoda itu membuat Ify mendongak. Dia tersenyum melihat siapa yang tengah duduk di teras rumahnya. Ify memang baru pulang dari mengajar. Dia di antar oleh Deva tadi. Dan temannya itu langsung pulang. Ify tidak lagi mempedulikan bagaimana jika Rio tahu. Karena toh, Rio juga tidak benar-benar bisa menjaga perasaannya. Membawa perempuan lain dan menginap di apartemennya. Bukankah, apa yang Rio lakukan itu lebih keterlaluan? Belum dengan sikapnya yang mendadak jadi cuek lagi. Sudahlah! Ify semakin sakit hati membayangkan hal itu.

"Hei!" Seru Alvin berjalan mendekat. Meraih tangan kanan Ify yang di gunakan gadis itu untuk mengusap air matanya.

"Kenapa nangis dek? Jatuh?" Alvin lantas memeriksa tubuh Ify dari kepala, wajah, lengan, kaki, semua masih aman.

"Bang-" Lirih Ify dengan bibirnya yang bergetar.

"Fy, kenapa?" Tanya Alvin mulai khawatir karena Ify terlihat tidak sedang bercanda. Adik perempuannya ini benar-benar menangis. Padahal, Alvin jarang sekali melihat Ify menangis. Jika pun menangis itupun biasanya sambil marah-marah tapi tidak kali ini yang justru kedua matanya memancar luka.

"Sakit."

"Apanya?" Alvin semakin bingung.

"Sakit." Ify menunduk seraya menekan dada kirinya yang terasa sesak.

"Ikut abang." Kata Alvin seraya menggandeng tangan Ify menuju mobilnya. Jangan sampai bunda tahu Ify menangis karena itu pasti akan membuat kesehatan bunda menurun karena terlalu khawatir.

Di dalam mobil Alvin, Ify menangis sepuasnya. Dan Alvin hanya diam menemani Ify, menunggu Ify hingga perasaannya bisa sedikit membaik. Menyediakan satu kotak tisue di pangkuan gadis itu untuk menghapus air matanya yang terus saja mengalir. Karena bertanya kenapa, itu justru akan semakin membuat Ify menangis lagi dan lagi.

"Udah enakan?" Tanya Alvin melihat Ify sudah mulai menghentikan tangisannya.

Ify mengangguk sambil berusaha tersenyum. "Heem," gumamnya.

Alvin tersenyum kecil seraya mengulurkan ibu jarinya. Menghapus setitik air di sudut mata Ify yang hampir terjatuh. "Abang nggak akan nanya kenapa  lo tiba-tiba nangis gini. Karena abang tahu, lo pasti nggak mau cerita. Tapi abang punya satu pertanyaan dan abang harap adek bisa jawab, ya?"

"Apa bang?" Ify bertanya setelah menarik nafas panjang.

"Mau kemana?"

"Heh?" Ify bingung.

"Mau kemana? Abang anterin."

"Emang abang nggak praktek?"

"Ijin sehari nggak apa-apa kali ya?" Alvin terkekeh melihat ekspresi Ify yang masih menampilkan wajah bingungnya.

MARIOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang