48. MARIO 2

948 113 203
                                    

Shilla tak bisa berhenti menangis saat mengetahui keadaan Ify. Ingin berhenti tapi air matanya mengalir terus. Sebenarnya Shilla juga tidak mau begini karena sikapnya pasti membuat Ify jadi sedih. Tapi bagaimana, Shilla benar-benar sedih sekarang. Sedih melihat Ify yang hanya menggeleng, mengangguk lalu tersenyum. Bukan seperti Ify yang selama ini selalu bisa menanggapi semua candaannya. Di tambah keadaan wajahnya Ify tampak lebam. Bibirnya terluka meski sudah mengering. Ini bukan pertama kali Shilla melihat wajah Ify penuh luka. Tapi tetap saja rasanya sama. Marah dan ingin sekali memberi pelajaran pada orang yang sudah melukai sahabatnya.

"Gue nggak tahu harus ngomong apa sekarang. Ngehibur lo kayak gimana gue juga nggak ada ide. Karena-" Shilla menggigit bibir bawahnya.

"Karena dari dulu lo yang paling ahli dalam hal itu.." Lirih Shilla bergetar. Shilla berusaha tersenyum dan menghapus air matanya. "Tapi gue yakin, lo pasti bisa sembuh nanti. Ya, kan?"

Ify mengangguk senyum. Meraih kedua tangan Shilla lalu di genggamnya erat. Mereka tengah duduk di ruang keluarga sekarang. Dika dan Vian sibuk main ps di atas karpet. Sedangkan Ify duduk di sofa dengan Ella di kiri dan Shilla di sisi kanannya. Sivia beserta Beby tidak bisa datang karena mereka berdua memang tidak di perbolehkan keluar malam oleh orang tua mereka.

"Gue tahu ini nggak mudah buat lo, Fy. Bahkan kalau itu terjadi sama gue, gue nggak akan pernah bisa berpikir positif lagi. Gue bakal benci banget sama Vian."

Merasa namanya di sebut, Vian menoleh bingung. "Udah lanjut sana!" Ella mengibaskan tangannya tak ingin melihat wajah kekasihnya. Karena setelah mendengar cerita Ajeng semalam, Ella jadi kesal sekali pada kakaknya. Oke, dia tahu Rio di jebak. Tapi tetap dia benci pada kakaknya yang bisa-bisa kemakan oleh nafsu. Iya iya! Ella tahu Rio dalam pengaruh obat tapi itu tetap membuat Ella tak terima! Mengerti?

Untung saja, dia bisa menjambak rambut perempuan murahan itu kemarin.

"Gue nggak tahu mau nanggepin gimana karena gue juga nggak tahu masalahnya kayak apa." Tanggap Shilla seraya menghapus air matanya.

Ella menghela panjang. Lalu ketiganya secara bersamaan menyenderkan punggung ke belakang sofa. "Namanya hidup, ya? Pasti ada aja masalah." Gumam Ella.

"Hm. Kalau nggak mau ada masalah, ya udah mati aja." Shilla menyahut dengan pelan.

"Ini kita nggak jadi ngedrakor?" tanya Shilla kemudian. Mengingat tujuannya di minta ke sini.

"Gue nggak konsen. Masih emosi soalnya." Tanggap Ella.

"Masalahnya apa sih emangnya? Jadi kepo gue."

"Bukan hak gue buat cerita ke lo."

Shilla mendengus. "Kalau nanya ke Ify mah. Nggak bakalan dia mau cerita. Apalagi tentang lakinya."

"Kok sewot." Kekeh Ella.

"B aja."

"Ah masa."

"Bangke!"

"Kasar, Shill."

Ify diam saja dari tadi menikmati perdebatan kedua sahabatnya. Tapi dalam hati dia berbicara sendiri. Menyemangati dirinya sendiri bahwa semua akan baik-baik saja. Menguatkan hatinya sendiri bahwa dia pasti bisa terbiasa tanpa Rio di sisinya. Ya, Ify harus bisa. Setidaknya sampai rasa sakit itu hilang ketika bayangan Rio yang bercumbu dengan perempuan lain muncul dalam benaknya. Setidaknya sampai dia bisa tetap baik-baik saja menerima Rio lagi dalam hidupnya.

Ify menegakkan duduknya ketika merasakan ponselnya bergetar. Setelah dia lihat, ternyata itu adalah pesan dari Gabriel. Dengan semangat semangat Ify membukanya. Ternyata sebuah foto. Dan foto itu adalah foto Rio. Foto Rio sedang fokus memegang bola bilyard. Foto yang cukup membuat Ify hampir kena serangan jantung karena terlalu-

MARIOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang